Follow Us

Friday, March 14, 2025

Kepemimpinan Tanpa Amarah: Mungkinkah?

Sayang dibuang.
Mengendap di draf sejak 22 Juli 2022.

Halo Sobat, apa kabar?

Kali ini saya akan membahas mengenai pemimpin. Setiap diri kita pada dasarnya adalah pemimpin bagi diri kita sendiri. Setuju ya? Lalu bagaimana saat kalian menjadi pemimpin bagi yang lain?

Berhubung saya adalah pegawai, maka saya mengalami yang namanya dipimpin oleh atasan. Sudah beberapa kali mengalami pergantian pemimpin. Pemimpin pria maupun wanita sudah saya alami. Apakah ada perbedaan antara keduanya?

Tentu saja. Dan tiap pemimpin ada kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dari yang emosional, yang selalu ingin jadi nomor satu sampai yang santai sudah pernah saya alami. Dari yang meledak di depan hingga yang halus caranya dengan memanggil personal sudah saya alami. Dari yang moody, yang tidak suka marah sudah saya alami. Macam-macam pokoknya tabiat pemimpin.



Yang diceritakan kok negatif semua, apa tidak ada positifnya? Tentu ada. Contohnya, pemimpin yang mendorong pegawai untuk lanjut kuliah, tidak menghalangi pegawai yang ingin pindah, dll. 

Bagi saya, tidak suka marah-marah itu sudah suatu hal baik loh. Karena marah-marah itu energinya negatif. Menurut saya, marah-marah pertanda emosi yang tidak stabil. Kurang pengendalian emosinya. Emang ada orang yang suka dimarah? Tidak ada kan? Apalagi di usia dewasa. Hello... kita bukan lagi anak kecil. Mungkin anak kecil hanya bisa menangis jika dimarahi. Sementara kita? 

Luka itu akan terus ada walau mungkin sudah memaafkan. Pasti tidak akan pernah sama lagi rasanya. 

Bukan maksud kita dendam atau tidak melepaskan masa lalu. Tapi luka itu memang membekas. Pengalaman buruk itu terekam di memori kita. 
Terus terang saya tidak suka dengan segala macam tindakan yang menimbulkan luka. Pasti tidak hanya saya. Ya kan? Saya percaya ada jalan/cara lain yang lebih bijak ketimbang meluapkan emosi dengan kemarahan. Mungkin dengan marah setelahnya akan merasa lega. Tapi apakah pernah dipikirkan efek untuk orang yang dimarahi?

Menurut saya orang yang meluapkan emosi kepada orang lain untuk membuat dirinya sendiri lega adalah orang yang egois. Dia hanya memikirkan kelegaannya sendiri, dirinya sendiri. Bagaimana dengan orang lain? Pernahkah dia pikirkan? Dia mau kita yang selalu mengerti dia dengan berkata, "Kamu tahu kan aku begini". Lalu kita disuruh memaklumi setiap dia emosi? Apa dia memahami kita kalau kita tidak suka dimarahi? Dia hanya mau dipahami tapi tidak mau memahami orang lain. Sangat tidak adil bukan?

Jika kita berbuat salah, sewajarnya kita diberitahu akan kesalahan kita dengan cara yang santun. Semua orang pasti menyukai kebaikan. Apalagi jika orang berpendidikan sudah selayaknya untuk bertindak santun. Apa yang terjadi jika begitu mudah emosi sebagai pemimpin? Bawahan taat bukan karena respek melainkan karena rasa takut. Bisa jadi justru baik di depan saja tapi mengomel di belakang. 

Apakah orang yang emosinya tidak stabil tersebut ada histori di masa lalu yaitu di masa kecilnya? 

Tentu saja, masa lalu seseorang, terutama pengalaman di masa kecil, bisa sangat memengaruhi bagaimana mereka mengelola emosi dan berinteraksi dengan orang lain, termasuk dalam kepemimpinan. Seseorang yang tumbuh dalam lingkungan yang penuh tekanan, sering dimarahi, atau tidak mendapatkan contoh pengelolaan emosi yang baik mungkin akan membawa pola itu ke kehidupan dewasanya.


Namun, bukan berarti mereka tidak bisa berubah. Kesadaran akan pola tersebut dan kemauan untuk belajar mengendalikan emosi dapat membantu seseorang menjadi pemimpin yang lebih baik. Pemimpin yang baik adalah mereka yang bisa menginspirasi, membimbing, dan memberikan arahan dengan bijaksana, bukan yang memimpin dengan ketakutan.


Saya percaya, kepemimpinan bukan hanya soal mengatur orang lain, tetapi juga bagaimana seseorang bisa mengelola dirinya sendiri. Jika seorang pemimpin tidak mampu mengelola emosinya, bagaimana dia bisa mengelola tim dengan baik? Justru pemimpin yang bisa menahan diri dan bersikap bijak dalam menghadapi masalah akan lebih dihormati dan dicontoh oleh bawahannya.


Jadi, jika kita suatu saat menjadi pemimpin, penting untuk bertanya pada diri sendiri: "Apakah saya ingin dihormati karena kebijaksanaan saya atau hanya ditakuti karena amarah saya?" Jawaban dari pertanyaan itu bisa menentukan bagaimana kita ingin dipandang dan dikenang oleh orang-orang di sekitar kita.


Bagaimana menurutmu? Apakah pernah mengalami pemimpin yang emosinya tidak stabil atau justru sebaliknya, pemimpin yang benar-benar mengayomi? 😊




 

No comments:

Post a Comment

leave your comment here!