Sambungan kisah saya yang sebelumnya sudah saya posting. Tapi baru sekarang sempat posting. Tak mengapalah yang penting tetap berbagi dengan kamu semua.
Cerita sebelumnya:
Winter in Tokyo (1) : Persiapan
Winter in Tokyo (2) : Kisah Perjalanan 1 (Kyoto)
Winter in Tokyo (2) : Kisah Perjalanan 2 (Gotemba/Mount Fuji/Owakudani Hall Valey/Ropeway)
Winter in Tokyo (2) : Kisah Perjalanan 3 (Kaminarimon/Shibuya/Shinjuku/Harajuku)
Winter in Tokyo (3) : Oleh-Oleh Khas
Kesimpulan
Dari awal datang hingga pulang, kebanyakan aktivitas kami adalah jalan dan jalan. Maksudnya jalan benaran pakai kaki. Sampai pegal sekali kaki saya. Maklum, jarang bergerak selama di Indonesia. Dan memang orang Jepang jalannya cepat-cepat meski sudah tua sekalipun. Saya yang muda merasa kalah. Tapi alhamdulillah saya kuat jalan (tanpa mengeluh capek meski sebenarnya capek sangat) dari pagi hingga malam di sana. Hebatnya, begitu bangun pagi sudah hilang itu capek. Wow!
Teman lain ada yang jalannya harus lambat-lambat loh padahal sih seumuran dengan saya sepertinya (katanya lecet mungkin karena badannya memang agak padat). Saya bersyukur sajalah masih diberi kekuatan biarpun tidak pernah olahraga dan dibilang kurus. Thanks to Allah. :) Saya juga tidak melihat orang gemuk di sana. Standarlah. Cenderung kurus-kurus sih. Mungkin karena banyak jalan kaki dan bersepeda. Padahal jalan dari stasiun ke luar termasuk jauh loh menurut saya. Hebat!
Buat yang mau menguruskan badan, recommended nih hidup di Jepang. :)
1. Di Jepang, saya tidak melihat orang bawa motor loh. Paling sepeda yang banyak berseliweran. Mobil pribadi juga jarang. Public transport di sana memang bisa diandalkan sih. Keretanya tepat waktu. Selama di sana saya mencoba subway, shinkansen, taksi dan bus kecil semacam metromini kalau di Jakarta yang kami pakai pada hari kedua ke Gotemba dan perjalanan pulang dari hotel menuju Haneda Airport (charter).
2. Oya, sewaktu naik kereta, saya terkagum-kagum. Kenapa? Karena orang-orangnya cakep-cakep. Oh God... hihihi. Biarpun sudah tua kelihatan kalau mereka cantik dan ganteng. Padahal kalau saya nonton drama Jepang, aktor aktrisnya tidak secantik dan ganteng Korea. Tapi orang biasa justru cantik dan ganteng. Dulu kala doktrinnya orang Jepang itu pendek dan hidung pesek. Nyatanya sekarang (saat saya melihat langsung di sana) tidak demikian. Hidungnya mancung-mancung. Dan tingginya mungkin samalah seperti orang Indonesia. Mungkin memang sudah banyak perubahan ya.
3. Orang Jepang itu kalem. Maksudnya saya sewaktu di kereta mereka tidak ada yang berisik. Tidak ada bunyi handphone atau orang ngobrol kencang-kencang apalagi ketawa-tawa. Selfie-selfie juga tidak ada. Saya perhatikan mereka baca koran, buku, atau hp. Hebat!
4. Di Kyoto, waktu saya dan teman saya melihat-lihat pernak-pernik, tiba-tiba ada yang menyapa kami. Hah? Kok bisa? Siapakah itu? Ternyata seorang lelaki muda readers, mana cakep lagi (uhuy 😊). Setelah kami mengobrol (dengan bahasa Inggris) ternyata dia bisa bahasa Indonesia dan ternyata lagi dia pernah tinggal di Malaysia. Oh pantesan. Bahkan dia cerita diberi nama muslim sama bapak yang ditumpanginya tinggal selama di sana. Dia menyapa kami karena dia lihat kami berhijab (Oh God... I am proud to be a muslim woman) dan dia tahu wajah-wajah kami ini wajah Indonesia (serumpun dengan Malaysia jadi tak beda jauh). Ramah kan orangnya?
5. Sewaktu saya pulang dari Kyoto mau kembali ke Tokyo, kan saya duduk di samping seorang pria (saya taksir usianya lebih muda dari saya). Sewaktu dia mau makan roti, dia tawarin ke saya loh padahal kan saya orang asing. Sewaktu dia mau turun lebih dulu (dia duduk dekat jendela) dia juga bilang "sumimasen". Sopan banget kan?
6. Sewaktu di toilet Shibuya mall, saya masuk salah satu kamar, bersih banget. Tidak ada bekas air menempel di dudukan toilet. Dan tidak ada petugas kebersihan toilet seperti di mall-mall Indonesia. Toiletnya juga sudah canggih sih. Banyak tombol pencetnya. Untuk lansia atau ibu yang membawa anak kecil juga kamar toiletnya tersendiri. Bedalah dengan di negara kita. :)
7. Saya perhatikan, orang Jepang tak suka pakai warna mencolok (terang). Selama di sana, di kereta subway atau di perbelanjaan, warna yang dipakai mayoritas adalah hitam atau coklat dengan turunannya. Penasaran, saya lihat-lihat juga tuh baju-baju atau jaket yang dijual di perbelanjaan memang warnanya warna itulah. :)
8. Orang Jepang banyak yang tak bisa bahasa Inggris. Sewaktu saya belanja beberapa kali, penjualnya tak bisa diajak bicara bahasa Inggris. Ada juga yang bisa tapi terbatas. Ya, setidaknya waktu bilang "take away" mengerti. Sewaktu di restoran Turki, penjualnya bisa bahasa Inggris. Memang bukan orang Jepang sih. :)
9. Beberapa kali belanja di tempat yang berbeda, tak ada tuh kembalian permen dan sejenisnya. Kembalian ya duit biarpun duit receh. Karena di sana ada pecahan terkecil 1 yen. Dan 1 yen itu laku. Tidak seperti di negara kita yang pecahan terkecilnya sudah tak laku.
Recehan yen - 1, 5, 10, 50, 100 yen (kanan ke kiri) Yang bolong di tengah menunjukkan angka 5 (5 yen kuning dan 50 yen putih) |
10. Oya, sepertinya uang saku saya kebanyakan nukarnya. Mungkin karena saya tidak banyak belanja mahal-mahal. Paling mahal adalah harga tiket PP Tokyo-Kyoto habis sekitar 2,7 juta. Sementara saya nukar 7 juta rupiah (6.542 yen) dan saya juga cuma sebentar di sana tidak extend. Jadi uang saya masih ada sisa sekitar 70 ribu rupiah (recehan yen). Tinggal segitu karena untungnya dipinjam teman saya yen-nya berapa ribu yen hehe. Alhamdulillah.
Saya masih menyimpan kartu kereta pasmo. Sipa tahu next time ke sana lagi bisa dipakai lagi. Ngarepdotcom. :)
Lanjut part 5 ya...
All pictures credit to Reana (taken by me)
No comments:
Post a Comment
leave your comment here!