Follow Us

Saturday, April 12, 2025

Episode 4: Luka dari Komentar – Mengapa Validasi Itu Mengikat

Halo Sobat! Berikut ini adalah seri lanjutan dari seri sebelumnya. Untuk seri kedua ini saya ambil tema Menjadi Diri Sendiri Dalam Dunia yang Menuntut Kesempurnaan. Jadi, selama beberapa hari ke depan saya akan posting berseri sebanyak 20 judul dengan tema ini. Semoga membawa manfaat untuk kamu semua pembaca blog saya. 



Episode 4: Luka dari Komentar – Mengapa Validasi Itu Mengikat

“You can be the ripest, juiciest peach in the world, and there's still going to be somebody who hates peaches.” – Dita Von Teese

Di dunia digital yang bergerak cepat, satu komentar bisa menjadi peluru. Meskipun disampaikan lewat layar, dampaknya bisa nyata—meninggalkan goresan dalam hati yang tak selalu tampak di luar.


Lebih parah lagi, seringkali luka itu tidak datang dari kebencian, tapi dari keinginan untuk diterima. Kita haus validasi. Kita butuh pengakuan. Kita ingin dikatakan cukup. Dan ketika itu tidak datang, atau justru datang dalam bentuk kritik, kita goyah.

Mengapa Kita Begitu Lapar akan Validasi?

Karena manusia makhluk sosial.
Kita tumbuh dengan nilai: jika kita baik, orang akan menyukai kita. Jika kita diterima, kita aman.


Tapi sayangnya, dunia tidak sesederhana itu. Apalagi di era media sosial, di mana pendapat bisa datang dari siapa saja, kapan saja—dan sering kali tanpa empati.

Beberapa bentuk luka yang umum muncul dari komentar:

  • Kritik penampilan: “Kamu kelihatan gendutan ya sekarang?”
  • Komparasi: “Kontennya bagus, tapi masih kalah menarik dibanding si A.”
  • Kritik halus (gaslighting): “Aku cuma mau bantu kamu berkembang, makanya aku bilang ini jelek.”
  • Komentar nyinyir dengan balutan sarkasme: “Wah, pede banget ya upload foto ini.”

Kadang yang lebih menyakitkan bukan komentarnya, tapi siapa yang mengatakannya.

Kita Jadi Hidup untuk Disukai, Bukan untuk Merdeka

Kita mulai menyusun kalimat demi tidak disalahpahami. Mengedit diri agar terlihat lebih cocok di mata orang lain. Menahan ekspresi, perasaan, bahkan keputusan, demi mempertahankan “citra.”


Semua ini menciptakan jebakan: kita tidak tahu lagi siapa diri kita sebenarnya tanpa opini orang lain.

Tapi, Apakah Kita Benar-Benar Butuh Disukai Semua Orang?

Coba bayangkan hidupmu seperti panggung.
Siapa yang kamu izinkan duduk di kursi penonton paling depan?
Apakah mereka orang-orang yang mengenalmu dengan tulus, atau hanya akun anonim dengan avatar kosong?


Tidak semua komentar perlu tempat di hatimu.
Tidak semua orang perlu kamu buat senang.
Dan tidak semua umpan balik harus kamu dengarkan—terutama yang menyakiti harga dirimu tanpa membangun.

Cara Melepaskan Diri dari Ikatan Validasi

  1. Buat batasan digital
    Tidak semua platform harus kamu isi. Tidak semua komentar harus kamu baca. Tidak semua orang harus kamu balas.

  2. Kenali siapa sumbernya
    Validasi dari orang yang kamu percayai berbeda dengan validasi dari orang asing. Pilih siapa yang benar-benar berniat membangun.

  3. Terima bahwa kamu tidak sempurna
    Ketidaksempurnaan bukan alasan untuk malu, tapi untuk terhubung lebih dalam dengan sesama manusia.

  4. Latih afirmasi diri
    Bangun suara internal yang lebih kuat dari komentar eksternal. Katakan:
    “Aku cukup, bahkan saat tidak semua orang menyukainya.”

  5. Rayakan keaslian, bukan hanya pujian
    Kadang, hal paling jujur yang kamu tulis atau lakukan mungkin tidak viral—tapi tetap valid.

Refleksi Hari Ini:

Tulis tiga komentar yang pernah menyakitimu.
Lalu tulis respons sehat yang seharusnya kamu berikan saat itu.


Akhiri dengan satu kalimat ini:

“Aku tidak didefinisikan oleh komentar mereka. Aku punya nilai bahkan saat sunyi.”


Selanjutnya di Episode 5: Berdamai dengan Cacat – Merangkul Bagian Diri yang Kita Tutupi.


Kita akan menyelami bagian paling rapuh dalam diri: luka, cela, dan bagian yang selama ini kita sembunyikan karena malu—dan bagaimana justru itu yang membuat kita manusia.


Sampai jumpa di posting berikutnya!

No comments:

Post a Comment

leave your comment here!