33. Mengapa Kita Menyembunyikan Air Mata dari Dunia?
Apa yang membuatmu menahan air mata ketika sebenarnya hatimu sedang ingin pecah? Apakah karena kamu takut terlihat lemah, atau karena dunia tak memberi ruang untuk orang yang menangis?
Air mata adalah salah satu ekspresi emosi paling tulus. Ia tak bisa dipalsukan, tak bisa dikendalikan seutuhnya. Namun, begitu banyak dari kita yang justru memilih menyembunyikannya. Kita buru-buru menyeka pipi sebelum ada yang melihat. Kita mengalihkan pandangan, tersenyum kecil, dan berkata, “Enggak apa-apa,” meski di dalam hati terasa sebaliknya. Seolah tangisan harus dikurung di tempat tersembunyi—hanya boleh hadir dalam sunyi.
Kita hidup dalam budaya yang menjunjung citra kuat, tabah, dan tahan banting. Tangis sering disamakan dengan kelemahan, dengan kurangnya kendali atas diri sendiri. Tak heran, banyak dari kita belajar untuk membungkam perasaan. Kita diajarkan untuk tetap tenang, tetap “profesional”, tetap bersikap seolah tidak ada apa-apa, meski hati sedang retak. Di ruang publik, kita berpura-pura tegar; di ruang pribadi, kita baru berani runtuh.
Namun, menyembunyikan tangis tidak membuat luka hilang. Ia hanya membuat perasaan semakin tertekan, seolah emosi adalah sesuatu yang memalukan. Padahal, menangis adalah salah satu cara tubuh dan jiwa menyelamatkan diri. Tangis adalah pengakuan jujur: bahwa ada yang terasa, bahwa ada yang mengganggu, bahwa kita masih punya ruang untuk peduli.
"Air mata bukan tanda kelemahan, tapi bukti bahwa kamu cukup berani untuk merasakan."
— Anonim
Bayangkan jika kita tidak perlu lagi malu saat air mata menetes. Jika kita bisa berkata, “Aku sedang sedih,” tanpa harus menjelaskan panjang lebar atau buru-buru menenangkan orang lain yang tak nyaman melihat kita menangis. Mungkin dunia akan menjadi tempat yang lebih empatik. Tempat yang memberi ruang aman bagi manusia untuk jadi manusia—dengan tawa dan tangis, dengan kekuatan dan keretakan.
Tangis yang dibagikan tak selalu melemahkan. Ia bisa mempererat. Ada keintiman yang lahir dari momen ketika dua manusia saling memahami luka. Menangis di depan orang lain adalah tanda bahwa kita mempercayai mereka. Kita membiarkan diri terlihat tanpa perlindungan. Dan di situlah letak keberanian itu.
Jika kita terus menyangkal kebutuhan untuk menangis, kita juga menyangkal hak kita untuk sembuh. Air mata tak selalu harus dijelaskan. Kadang, ia hanya ingin hadir, menyapu lelah, dan lalu pergi dengan tenang. Mungkin, dengan membiarkan diri menangis hari ini, kita sedang memberi diri kesempatan untuk lebih kuat esok hari—bukan dengan memaksakan senyum, tapi dengan memeluk perasaan yang nyata.
Lanjut ke posting berikutnya...

No comments:
Post a Comment
leave your comment here!