semangat menebar kebaikan lewat tulisan — merangkai kata menebar cahaya — menulis dengan hati, menginspirasi tanpa henti

17. Mengapa Kita Terlalu Keras pada Diri Sendiri? - Reana

Follow Us

Saturday, May 10, 2025

17. Mengapa Kita Terlalu Keras pada Diri Sendiri?

Berikut lanjutan seri kontemplasi topik kedua Tentang Diri dan Identitas. Yuk simak.



Mengapa Kita Terlalu Keras pada Diri Sendiri?

"Jika kamu tak akan mengatakan itu pada orang yang kamu cintai, mengapa kamu mengatakannya pada dirimu sendiri?"

Saya sering mendapati diri saya berkata dalam hati: “Kamu bodoh. Kamu gagal. Kamu seharusnya bisa lebih baik.” Kata-kata itu muncul bukan dari orang lain, tapi dari saya sendiri—tanpa ampun, tanpa jeda. Dan semakin saya mencoba menjadi sempurna, semakin bising suara itu.


Kita tumbuh di dunia yang suka menilai, membandingkan, menekan. Tanpa sadar, kita menyerap tekanan itu dan mengarahkannya ke diri sendiri. Kita memarahi diri saat gagal, kita mengabaikan pencapaian kecil, dan kita membiarkan rasa bersalah mengendap terlalu lama.


Yang menyedihkan adalah, kita sering lebih sabar pada orang lain daripada pada diri sendiri. Kita mudah memaafkan kesalahan orang, tapi kejam saat menilai kekurangan kita. Kita lupa bahwa kita juga manusia, yang tak selalu kuat, tak selalu benar, dan tak harus selalu sempurna.


Padahal, siapa yang paling butuh kasih sayang jika bukan diri kita sendiri? Siapa yang paling butuh pelukan, pengertian, dan kalimat lembut saat jatuh—kalau bukan kita sendiri yang menjalaninya?


Saya belajar bahwa menjadi baik pada diri sendiri bukan bentuk kelemahan. Itu keberanian. Butuh kekuatan besar untuk berkata, “Aku gagal, tapi aku tetap layak dicintai.” Butuh kebijaksanaan untuk menerima bahwa semua orang punya proses, dan itu termasuk saya.


Ada masa ketika saya pikir tekanan membuat saya kuat. Tapi saya salah. Tekanan tanpa kasih hanya membuat saya takut mencoba lagi. Yang saya butuh bukan cambuk, tapi ruang untuk tumbuh, salah, lalu mencoba kembali.


Mengapa kita begitu keras pada diri sendiri? Mungkin karena kita takut tak cukup. Tak dihargai. Tak diakui. Tapi kenyataannya, kita justru jadi rapuh karena selalu memaksa diri jadi sempurna.


Sekarang saya mencoba bersikap seperti sahabat untuk diri saya sendiri. Saya belajar memuji, bukan hanya menuntut. Saya belajar bilang “nggak apa-apa,” bukan hanya “harusnya bisa.” Karena saya tahu, suara dari dalam diri adalah yang paling sering saya dengar seumur hidup. Dan saya ingin menjadikannya lebih lembut.


Bayangkan jika kamu bisa memperlakukan dirimu seperti kamu memperlakukan orang yang kamu sayangi. Apa yang akan berubah? Mungkin kamu akan lebih tenang, lebih damai, lebih siap menghadapi hidup.


Saya tahu ini proses panjang. Tapi setiap kali saya memilih untuk tidak menyalahkan diri sendiri, saya sedikit demi sedikit membebaskan diri saya dari luka yang saya ciptakan sendiri.


Dan kamu…
Kapan terakhir kali kamu memaafkan dirimu sendiri?


Lanjut ke posting berikutnya...


Ada harapan yang tumbuh diam-diam di antara warna-warna lembut kehidupan.

No comments:

Post a Comment

leave your comment here!