Kita lanjut ke bagian 13 dari seri 300 kontemplasi untuk topik kedua Tentang Diri dan Identitas. Yuk simak.
Apa yang Tersisa dari Kita Jika Semua Label dan Gelar Dicabut?
"Siapa kamu… jika bukan seorang mahasiswa, bukan seorang pekerja, bukan anak sulung, bukan ‘si pintar’, bukan ‘si pendiam’? Siapa kamu, ketika semua itu dilepas satu per satu?"
Saya pernah duduk dalam keheningan dan bertanya: “Kalau semua gelar dan peran saya hilang, siapa saya sebenarnya?” Rasanya aneh. Bahkan menakutkan. Karena tanpa label, saya merasa seperti tidak punya bentuk. Tidak punya tempat.
Sejak kecil, kita tumbuh dengan label. Anak berprestasi. Anak bandel. Kakak yang harus jadi teladan. Mahasiswa cumlaude. Karyawan terbaik. Ibu rumah tangga yang sabar. Kita belajar mencintai diri melalui semua gelar itu. Tapi kadang, kita juga terjebak di dalamnya.
Label bisa menjadi rumah yang nyaman—atau penjara yang tak terlihat. Kita begitu takut kehilangan identitas yang selama ini kita bangun, sampai-sampai lupa bagaimana rasanya hidup sebagai diri sendiri. Tanpa topeng. Tanpa pencitraan.
Ketika saya berhenti sejenak dari dunia kerja, saya merasa tidak berguna. Tidak produktif. Tidak ‘berarti’. Lalu saya sadar, ternyata saya mengaitkan nilai diri saya sepenuhnya dengan apa yang saya hasilkan. Padahal… apakah manusia hanya layak jika berguna?
Pertanyaan ini menghantam saya: Apakah saya masih pantas dicintai jika saya tidak lagi “berhasil”? Jika saya tidak punya prestasi. Jika saya tidak lagi jadi kebanggaan siapa-siapa. Jika saya hanya... ada.
Lalu saya mulai mencari sesuatu yang lebih dalam dari sekadar label. Saya mulai melihat: apakah saya orang yang lembut? Apakah saya bisa jujur? Apakah saya tetap peduli pada sesama, bahkan saat tidak ada yang melihat? Itu semua tidak tertulis di kartu nama. Tapi mungkin, itu yang benar-benar membentuk saya.
Kita terlalu sering menyamakan identitas dengan status. Tapi siapa diri kita bukan hanya soal pekerjaan atau posisi sosial. Ia adalah tentang nilai yang kita hidupi saat tidak ada yang menonton.
Dan saya percaya, yang tersisa setelah semua label dicabut adalah esensi. Sifat-sifat murni yang tidak bisa dibeli atau diklaim: kejujuran, kasih, empati, keberanian, integritas. Hal-hal yang tetap melekat bahkan ketika dunia lupa siapa kita.
Itulah mengapa penting untuk mengenal diri di luar semua pencapaian. Karena gelar bisa hilang, jabatan bisa dicabut, reputasi bisa berubah. Tapi apa yang kamu percayai, cara kamu mencintai, dan cara kamu bertahan dalam sunyi—itulah yang tidak bisa dihapus siapa pun.
Hari ini, saya tidak ingin terlalu melekat pada label. Saya ingin menjadi seseorang yang tetap utuh, bahkan saat dunia berubah. Karena saya tahu, saya bukan cuma peran yang saya mainkan. Saya adalah jiwa yang terus tumbuh, meski tak selalu terlihat.
Dan kamu, siapa kamu tanpa semua gelar dan label?
Apa yang akan tetap tinggal saat dunia berhenti menepuk punggungmu?
Lanjut ke bagian 14 ya...
Ada harapan kecil yang tumbuh dari tenang dan lembutnya pagi.

No comments:
Post a Comment
leave your comment here!