Berikut adalah blog post nomor 28 dari seri Tentang Waktu & Perjalanan Hidup:
Mengapa Kita Baru Menyadari Nilai Sesuatu Saat Kehilangannya?
“You never know the value of a moment until it becomes a memory.” – Dr. Seuss
Apakah kita benar-benar menghargai sesuatu saat ia hadir? Ataukah kita hanya belajar mencintai dalam ketiadaan?
1. Kesadaran manusia sering datang terlambat.
Kita hidup dalam kebiasaan, rutinitas, dan asumsi bahwa segalanya akan tetap ada—orang tua yang menunggu di rumah, pasangan yang selalu mengerti, teman yang mudah diajak bicara.
Kita mengira kehadiran mereka adalah hal yang pasti, padahal semuanya rapuh.
2. Mengapa kita begitu lambat menyadari nilai sesuatu?
Karena kehadiran yang konsisten sering kali dianggap biasa. Kita lupa bahwa keberadaan bukan jaminan. Apa yang kita miliki hari ini bisa saja menghilang esok hari, dan kita baru sadar setelah kehilangan menciptakan kekosongan.
3. Kehilangan menciptakan ruang untuk refleksi.
Saat sesuatu hilang—orang, waktu, kesempatan—barulah kita mengingat kembali hal-hal kecil yang dulu kita abaikan. Tawa di meja makan, panggilan singkat di tengah hari, atau sekadar kehadiran dalam diam.
4. Nilai muncul ketika kita mengalami kekosongan.
Ironis, tapi nyata. Kita lebih menghargai air saat kehausan, udara saat sesak, dan cinta saat kesepian. Kehilangan membangkitkan makna yang tidak pernah kita sadari saat sesuatu itu hadir.
5. Kita cenderung lebih fokus pada kekurangan daripada kelebihan.
Saat sesuatu masih ada, kita lebih banyak menuntut daripada bersyukur. Kita ingin lebih dari pasangan, lebih dari pekerjaan, lebih dari kehidupan. Tapi saat semua itu hilang, kita rela mengulang segalanya hanya untuk mendapatkan kembali apa yang dulu kita keluhkan.
6. Media sosial memperkuat ilusi bahwa kita selalu bisa mendapat lebih.
Scroll demi scroll menampilkan kehidupan “sempurna” orang lain. Kita pun mudah merasa bahwa apa yang kita miliki kurang. Akibatnya? Kita lupa bahwa apa yang kita anggap biasa bisa jadi adalah impian bagi orang lain.
7. Namun, kehilangan bukan hanya akhir.
Ia bisa menjadi awal kesadaran. Kesempatan untuk belajar, untuk mencintai dengan lebih sadar, untuk hadir lebih penuh.
Kehilangan mengajari kita tentang keterbatasan waktu dan pentingnya menghargai momen sekarang.
8. Kita juga bisa belajar mencintai sebelum kehilangan terjadi.
Caranya? Dengan hadir utuh, mengucapkan terima kasih lebih sering, menghargai hal kecil, dan tidak menunda kebaikan. Karena kita tidak tahu kapan momen terakhir itu datang.
9. Penyesalan sering muncul bukan karena kehilangan itu sendiri, tetapi karena kita tahu kita bisa berbuat lebih baik.
Kita menyesal tidak cukup mengungkapkan cinta, tidak meluangkan waktu, tidak menyadari bahwa hari-hari biasa itu ternyata luar biasa.
10. Hidup tidak akan pernah bebas dari kehilangan.
Tapi kita bisa meminimalisir penyesalan dengan mencintai lebih sadar hari ini. Dengan tidak menganggap siapa pun atau apa pun sebagai “pasti.”
11. Mari belajar dari kehilangan, bukan sekadar meratapi.
Karena setiap kepergian bisa menjadi pengingat untuk lebih menghargai apa yang masih tinggal. Kehidupan ini sementara, dan justru karena itu, ia berharga.
12. Pada akhirnya, kehilangan bukanlah kutukan. Ia adalah guru.
“Jangan tunggu kehilangan untuk tahu betapa berharganya sesuatu. Hargailah hari ini, karena esok belum tentu datang dengan janji yang sama.”
Pertanyaan penutup: Apa yang kamu miliki hari ini yang akan sangat kamu rindukan jika esok menghilang?
Siap lanjut ke blog post nomor 29? Ke posting berikutnya ya...

No comments:
Post a Comment
leave your comment here!