semangat menebar kebaikan lewat tulisan — merangkai kata menebar cahaya — menulis dengan hati, menginspirasi tanpa henti

15. Apakah Aku Orang yang Sama dengan Diriku Sepuluh Tahun Lalu? - Reana

Follow Us

Friday, May 9, 2025

15. Apakah Aku Orang yang Sama dengan Diriku Sepuluh Tahun Lalu?

Berikut adalah seri kontemplasi untuk topik kedua Tentang Diri dan Identitas.



Apakah Aku Orang yang Sama dengan Diriku Sepuluh Tahun Lalu?

"Jika kamu bertemu dirimu sendiri sepuluh tahun yang lalu, apakah kamu akan saling mengenali… atau saling menghakimi?"

Kadang saya bertanya dalam hati, “Apakah saya masih orang yang sama seperti dulu?” Pertanyaan ini muncul saat saya menemukan tulisan lama, foto lama, atau kenangan yang menyeruak begitu saja tanpa izin. Rasanya seperti membaca cerita orang lain.


Sepuluh tahun lalu, saya punya harapan yang berbeda. Saya punya cara berpikir yang lebih hitam-putih. Saya ingin banyak hal, takut pada banyak hal, dan belum tahu dunia akan membentuk saya sedemikian rupa. Saya dulu idealis, terkadang naif, sering terlalu keras pada diri sendiri.


Kini, banyak hal telah berubah. Pilihan hidup, prioritas, bahkan cara saya melihat diri dan orang lain. Tapi di balik semua itu, masih ada versi diri yang tetap tinggal. Sesuatu yang tidak ikut berubah meski dunia bergeser.


Mungkin saya tidak lagi menyukai hal yang sama. Tidak lagi bereaksi dengan cara yang sama. Tapi jiwa yang belajar, mencari makna, dan ingin tumbuh—masih ada di sana. Hanya saja, ia lebih bijak sekarang. Lebih pelan. Lebih dalam.


Kadang saya rindu versi lama dari diri saya. Ia mungkin belum banyak tahu, tapi ia lebih berani bermimpi. Ia menulis tanpa takut dinilai. Ia mencintai dengan gegas, tertawa lebih sering, dan menangis tanpa malu. Ada kejujuran yang murni dalam diri saya yang dulu.


Tapi saya juga bersyukur telah berubah. Karena saya tahu perubahan ini bukan pengkhianatan, melainkan proses menjadi. Saya tidak lagi orang yang sama, tapi bukan berarti saya salah arah. Saya hanya sedang menemukan bentuk saya yang lebih utuh.


Perubahan itu perlu. Tumbuh artinya kita sedang meninggalkan kulit lama untuk memberi ruang pada diri baru. Jika saya stagnan, mungkin justru itu yang menakutkan. Karena hidup yang sehat adalah hidup yang terus bergerak.


Namun, di balik semua versi diri yang pernah ada, saya tahu satu hal: semua versi itu penting. Mereka membentuk saya hari ini. Versi yang patah, yang gagal, yang belajar, yang berjuang—semuanya adalah bagian dari mozaik yang bernama "saya."


Hari ini, saya memilih untuk berdamai dengan semua versi itu. Saya tidak lagi ingin menolak siapa saya dulu, atau terburu-buru menuju siapa saya esok. Saya hanya ingin hadir penuh sebagai diri saya yang sekarang.


Dan kamu…


Apakah kamu masih mengenali dirimu sendiri yang dulu?


Atau mungkin… kamu justru sedang belajar mencintai versi dirimu yang hari ini?


Lanjut posting 16 ya...

Hening tak selalu kosong—kadang justru penuh dengan jawaban yang enggan bersuara.

No comments:

Post a Comment

leave your comment here!