Sobat, kita lanjut ke bagian 31 dari "Seri Rencana Allah Sempurna." Semoga kalian tidak bosan ya. Perjalanan masih panjang hingga bagian 100. Yuk, pelan-pelan kita simak!
Menerima Takdir dengan Lapang Dada
(Seri: Rencana Allah Sempurna)
Takdir adalah sesuatu yang sering kali sulit dipahami, apalagi ketika ia membawa kita pada hal-hal yang tidak kita inginkan—kegagalan, kehilangan, penderitaan. Namun, bagian dari keimanan adalah menerima takdir, baik yang menyenangkan maupun yang menyakitkan. Sebab menerima takdir bukan berarti menyerah, tapi berserah.
"Tidak ada musibah yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya." – QS. Al-Hadid: 22
Lapang dada menerima takdir adalah sikap hati yang penuh keikhlasan. Ia bukan sekadar pasrah pasif, melainkan bentuk tunduk yang tenang dan yakin bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah bagian dari rencana Allah yang sempurna.
Ada saatnya hidup tidak berjalan sesuai ekspektasi. Kita telah merencanakan banyak hal, namun ternyata arah hidup berubah begitu cepat. Dalam kondisi seperti inilah keimanan diuji—apakah kita mampu menerima atau justru mengingkari.
"Apa saja yang menimpamu, maka itu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri. Dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)." – QS. Asy-Syura: 30
Menerima takdir tidak berarti kita berhenti bermimpi. Justru, dengan hati yang lapang, kita belajar bangkit dan melangkah dengan sudut pandang baru. Karena takdir hanyalah alat, bukan akhir dari segalanya. Di tangan orang yang beriman, takdir menjadi jalan menuju kebaikan, bukan kehancuran.
Lapang dada adalah kekuatan mental dan spiritual. Ia menjauhkan kita dari rasa protes yang menyiksa dan mendekatkan kita pada ketenangan hati. Kita percaya bahwa Allah lebih tahu apa yang terbaik, bahkan jika saat ini belum kita pahami.
"Boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." – QS. An-Nisa: 19
Salah satu tanda kedewasaan iman adalah ketika kita bisa berkata, “Ya Allah, aku tidak paham mengapa ini terjadi, tapi aku tahu Engkau selalu merencanakan yang terbaik untukku.” Kalimat itu mungkin sederhana, tapi dampaknya luar biasa dalam menenteramkan hati.
Banyak luka yang tidak akan sembuh kecuali dengan penerimaan. Dan banyak kegelisahan yang tidak akan reda sebelum kita berkata, “Aku ikhlas.” Di situlah takdir mulai terasa ringan, meski sebelumnya berat di hati.
“Apa yang ditakdirkan untukmu tidak akan pernah salah alamat. Apa yang bukan milikmu tak akan pernah menjadi milikmu, sekeras apa pun kamu mengejarnya.”
Menerima takdir bukan hanya urusan besar seperti kematian atau kehilangan. Tapi juga dalam hal-hal kecil sehari-hari—gagal ujian, tidak diterima kerja, dikhianati teman. Semua adalah bagian dari skenario Allah untuk membentuk hati kita menjadi lebih kuat dan lembut dalam waktu bersamaan.
Ketika kita menolak takdir, sebenarnya kita sedang mempersulit diri sendiri. Tapi saat kita membuka hati untuk menerima, maka Allah akan membuka jalan-jalan kebaikan yang tak kita sangka sebelumnya.
"Aku rida dengan Allah sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku, dan Muhammad sebagai nabiku." – HR. Abu Dawud
Di balik segala hal yang tak kita mengerti hari ini, percayalah: ada pelajaran yang kelak akan menyempurnakan langkah kita esok. Menerima takdir bukan tentang kalah, tapi tentang menang dalam keimanan.
Lanjut ke seri 32...
#891
#Menuju 1000 posting
#spiritual
#100 Seri Rencana Allah Sempurna
Tak semua yang tenang itu tak bergelombang. Kadang, ia sedang menyimpan badai paling diam.

No comments:
Post a Comment
leave your comment here!