26. Mengapa Waktu Terasa Cepat Saat Bahagia dan Lambat Saat Menderita?
Berikut adalah blog post nomor 26 dari seri Tentang Waktu & Perjalanan Hidup:
Mengapa Waktu Terasa Cepat Saat Bahagia dan Lambat Saat Menderita?
“Time flies when you're having fun, but drags its feet when you're in pain.”
Pernah merasa waktu berlari saat kita tertawa, tapi begitu lambat ketika kita terluka? Apakah waktu benar-benar berubah kecepatannya, atau justru persepsi kita yang menipunya?
1. Waktu secara objektif berjalan stabil: 60 detik per menit, 24 jam per hari.
Namun, persepsi manusia terhadap waktu sangat subjektif. Kita tidak mengalami waktu sebagai angka, tapi sebagai rasa. Dan rasa itu sangat dipengaruhi oleh emosi.
2. Ketika kita bahagia, otak kita sibuk memproses berbagai stimulasi positif.
Tertawa bersama teman, jatuh cinta, berlibur ke tempat baru—semua pengalaman ini membuat otak kita sibuk menerima hal-hal yang menyenangkan. Highlight: Karena fokus kita tertuju pada kenikmatan, kita lupa memperhatikan waktu. Hasilnya? Waktu terasa melesat.
3. Sebaliknya, penderitaan membuat kita sangat sadar akan setiap detik yang berlalu.
Menunggu hasil medis, menahan sakit hati, berada dalam kecemasan—semuanya memperlambat persepsi kita. Detik demi detik terasa panjang karena kita memerhatikannya dengan cemas.
4. Saat bahagia, kita hidup “di luar” waktu. Saat menderita, kita terkunci “di dalamnya.”
Kebahagiaan membebaskan kita, sementara penderitaan membelenggu. Kita menjadi lebih sadar akan waktu saat menderita karena kita ingin segera keluar dari rasa sakit itu.
5. Kenangan pun terasa dipengaruhi oleh ini.
Kita sering merasa masa-masa bahagia berlalu cepat karena otak hanya merekam puncak-puncaknya. Sedangkan masa sulit terasa panjang karena otak merekam setiap detailnya—rasa sakit, sunyi, detik yang lamban.
6. Ini sebabnya waktu terasa berbeda untuk setiap orang.
Seorang anak yang bermain bisa merasa waktu habis terlalu cepat, sedangkan orang dewasa yang kesepian bisa merasa hari tak kunjung malam. Waktu bukan hanya kuantitas, tapi kualitas pengalaman.
7. Lalu, apakah bisa kita kendalikan persepsi waktu?
Dalam batas tertentu, bisa. Ketika kita hadir penuh (mindful), waktu terasa lebih kaya dan bermakna. Saat kita terlibat sepenuhnya dalam aktivitas, kita tidak hanya menghitung waktu—kita menghidupinya.
8. Hal yang sama terjadi saat kita merenung.
Saat dalam kondisi kehilangan atau duka, waktu terasa membekukan. Tapi di balik itu, ada peluang untuk benar-benar mengenal diri: apa yang berarti, siapa yang penting, dan mengapa kita merasa demikian.
9. Bahagia dan menderita sama-sama memberi pelajaran, tapi cara mereka memengaruhi waktu sangat berbeda.
Highlight: Bahagia membuat kita lupa waktu, sedangkan luka membuat kita menghitungnya. Dan keduanya, entah cepat atau lambat, tetap akan berlalu.
10. Maka, bukan soal bagaimana mempercepat waktu menderita atau memperlambat waktu bahagia.
Tapi soal menyadari bahwa keduanya adalah bagian dari perjalanan yang membentuk kita menjadi manusia utuh.
11. Dengan kesadaran ini, kita bisa belajar hadir sepenuhnya.
Tidak terburu-buru melewati duka, tidak terlalu melekat pada tawa. Kita belajar menerima waktu apa adanya, bukan hanya saat ia menyenangkan.
12. Jadi, mengapa waktu terasa berbeda di tiap kondisi? Karena kita tidak hanya hidup dalam waktu, kita hidup bersama rasa.
“Waktu memang tidak bisa kita genggam, tapi rasa yang menyertainya bisa kita maknai.”
Pertanyaan penutup: Apakah kamu sedang menghitung waktu atau sedang menghidupinya?
Lanjut ke blog post berikutnya ya....














