semangat menebar kebaikan lewat tulisan — merangkai kata menebar cahaya — menulis dengan hati, menginspirasi tanpa henti

35. Mengapa Luka Lama Masih Menyisakan Rasa? - Reana

Follow Us

Saturday, August 9, 2025

35. Mengapa Luka Lama Masih Menyisakan Rasa?



35. Mengapa Luka Lama Masih Menyisakan Rasa?


Pernahkah kamu merasa baik-baik saja, lalu tiba-tiba dihantam oleh kenangan yang sudah bertahun-tahun lalu? Mengapa luka yang lama masih terasa seolah baru kemarin?


Waktu memang bisa menyembuhkan banyak hal, tapi tidak semua luka hilang tanpa bekas. Ada luka-luka yang tetap tinggal—bukan karena kita lemah atau gagal move on—melainkan karena luka itu menyentuh bagian terdalam dari diri kita. Luka lama seringkali berhubungan dengan identitas, harga diri, cinta pertama, atau harapan besar yang tak jadi kenyataan. Maka wajar jika jejaknya masih ada.

"Beberapa luka tidak ingin disembuhkan; mereka hanya ingin dikenali."
— Yasmin Mogahed


Kita cenderung menekan atau mengabaikan rasa sakit dari masa lalu, berharap waktu akan menghapusnya. Tapi nyatanya, luka yang tidak diberi ruang untuk sembuh dengan utuh justru mencari celah untuk muncul kembali. Ia bisa muncul lewat mimpi, lewat percakapan sederhana, lewat lagu yang tidak sengaja terdengar di kafe. Dan setiap kali itu terjadi, kita diingatkan bahwa rasa itu belum benar-benar pergi.

"Luka adalah bukti bahwa kita pernah mencintai begitu dalam hingga meninggalkan jejak."
— Nayyirah Waheed


Luka lama menyisakan rasa karena ia menyimpan cerita yang belum selesai. Kadang, kita tidak hanya terluka karena apa yang terjadi, tapi karena kita tak pernah diberi kesempatan untuk mengerti mengapa itu terjadi. Kita memendam tanya, kecewa, bahkan kemarahan yang tidak pernah tersampaikan. Luka-luka itu menjadi pintu-pintu yang belum kita buka, dan setiap kali kita menyentuhnya, rasa lama itu kembali hidup.

"Bukan waktu yang menyembuhkan luka, melainkan bagaimana kita berdamai dengan cerita di balik luka itu."
— Anonim


Rasa yang tersisa adalah bentuk dari keterikatan emosional yang belum selesai. Kita bisa menyibukkan diri, membuat jadwal padat, tertawa di hadapan orang lain, tapi hati tetap tahu mana luka yang belum selesai diceritakan. Dan semakin kita menolak mendengarkannya, semakin kuat ia mengetuk dari dalam. Bukan untuk menyakiti kita, tapi untuk diakui bahwa: "aku ada."


Luka yang menyisakan rasa tidak harus selalu dilihat sebagai kelemahan. Kadang, justru dari luka-luka itu kita belajar tentang batas, tentang harapan yang patah, tentang diri yang pernah kehilangan, dan tentang bagaimana bertahan saat dunia terasa runtuh. Luka bisa menjadi tempat kembali untuk memahami: kenapa kita menjadi seperti sekarang ini.


Dan mungkin, luka lama tetap terasa karena ada versi diri kita di masa lalu yang masih menunggu untuk dipeluk—bukan dihakimi, bukan dilupakan, hanya dipeluk.


Pertanyaan reflektif untukmu hari ini:

  • Luka apa yang masih menyisakan rasa dalam dirimu?
  • Jika kamu duduk bersama luka itu hari ini, apa yang ingin kamu katakan padanya? Dan apa yang ingin ia sampaikan padamu?


Lanjut ke posting berikutnya...


No comments:

Post a Comment

leave your comment here!