semangat menebar kebaikan lewat tulisan — merangkai kata menebar cahaya — menulis dengan hati, menginspirasi tanpa henti

Reana

Follow Us

Thursday, March 20, 2025

Kenapa Dipertemukan Jika Bukan untuk Berjodoh?

3/20/2025 04:48:00 PM 0 Comments


                                       


Hello Sobat!

Pernah nggak sih kamu merasa seperti hidup ini kadang suka iseng? Kita dipertemukan dengan seseorang yang terasa begitu spesial, klik, bahkan seperti “pas banget” di awal, tapi entah kenapa… akhirnya tetap harus berpisah.


Akhir-akhir ini saya kepikiran soal itu. Setelah beberapa kali mengalaminya sendiri dan mendengar cerita dari teman-teman, rasanya kok banyak yang punya pengalaman yang mirip. Dipertemukan berkali-kali dengan orang baru, bahkan sempat merasa "ini dia orangnya", tapi tetap saja berakhir dengan perpisahan.

Apakah Kita Memang Dipertemukan dengan Orang yang Salah?

Saya jadi teringat seseorang yang dulu pernah begitu dekat. Pertemuan kami terasa seperti skenario film romantis—ngobrol nyambung, ketawa bareng, dan saling berbagi mimpi. Tapi seiring waktu, perbedaan mulai terasa. Jalan kami perlahan menjauh tanpa kami sadari. Sampai akhirnya, tanpa drama berlebihan, kami hanya… berpisah.


Bukan karena ada yang salah. Tidak ada yang berbuat curang atau menyakiti. Kami hanya tumbuh ke arah yang berbeda. Saat itu saya bertanya-tanya, "Kenapa harus dipertemukan kalau akhirnya bukan dia yang ditakdirkan?"

Pertemuan Bukan Selalu tentang Akhir yang Indah

Tapi seiring waktu, saya mulai paham, mungkin memang tidak semua pertemuan itu ditakdirkan untuk berujung di pelaminan. Ada yang datang hanya untuk mengajarkan kita sesuatu—tentang cinta, tentang diri kita sendiri, atau tentang bagaimana menghargai orang lain.


Setiap orang yang datang dalam hidup kita, entah sebentar atau lama, meninggalkan pelajaran dan kenangan. Ada yang mengajarkan kesabaran, ada yang mengajarkan kita untuk lebih tegas, dan ada juga yang hanya hadir sebagai pengingat bahwa kita mampu mencintai dan dicintai.

Bertemu Bukan Berarti Harus Memiliki

Saya pun mulai belajar bahwa kadang Tuhan hanya ingin kita bertemu agar kita belajar sesuatu. Bukan untuk memiliki selamanya, tapi untuk menambah warna di lembar hidup kita.


Sakit? Ya, pasti. Perpisahan, apalagi dengan seseorang yang kita kira “the one”, memang meninggalkan ruang kosong. Tapi dari situ juga kita jadi lebih mengenal diri sendiri—apa yang kita butuhkan, apa yang kita inginkan, dan siapa yang pantas kita perjuangkan di masa depan.

Bagaimana dengan Kamu, Sobat?

Apakah kamu pernah dipertemukan dengan seseorang yang rasanya ‘pas’, tapi akhirnya harus kamu lepaskan juga? Atau kamu sedang dalam fase itu sekarang—berjuang menerima bahwa dia bukan orang yang akan menemani perjalananmu sampai akhir?


Kalau iya, kamu nggak sendiri kok. Mungkin ini memang cara hidup mengajarkan kita untuk lebih bijak dalam mencintai dan lebih ikhlas dalam melepaskan.


Boleh dong, cerita sedikit di kolom komentar. Siapa tahu kita bisa saling berbagi pengalaman dan sama-sama belajar bahwa dipertemukan, walau bukan untuk bersama selamanya, tetap punya makna yang dalam.

“Jika memang bukan untukmu, sekuat apapun kamu menggenggam, pada akhirnya akan lepas juga.”

— Anonim


Tips Agar Lebih Ikhlas Menghadapi Perpisahan

Setelah beberapa kali mengalami sendiri dan mendengar cerita dari teman-teman, saya sadar kalau menghadapi perpisahan itu memang nggak gampang. Tapi bukan berarti kita harus terus-menerus terjebak dalam rasa kehilangan.


Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan untuk membantu diri sendiri lebih ikhlas:

  1. Terima Perasaanmu Apa Adanya
    Jangan buru-buru bilang ke diri sendiri, "Ah, aku harus kuat." Kadang kita memang perlu waktu untuk merasa sedih, marah, atau kecewa. Rasakan saja dulu, jangan ditolak. Justru dengan mengakui emosi itu, kita bisa lebih cepat memproses dan move on.

  2. Ingat Bahwa Setiap Orang Adalah Guru
    Percaya deh, setiap orang yang datang ke hidup kita membawa pelajaran, meskipun rasanya pahit. Entah itu pelajaran tentang batasan diri, keberanian mencintai lagi, atau bagaimana kita layak mendapatkan yang lebih baik.

  3. Fokus pada Diri Sendiri Dulu
    Setelah berpisah, coba luangkan waktu untuk diri sendiri. Lakukan hal-hal yang bikin kamu merasa lebih "utuh" sebagai individu—entah itu nge-gym, traveling, ikut kelas baru, atau sekadar menghabiskan waktu di rumah sambil nonton drama favorit.

  4. Kurangi Stalking Sosial Media
    Ini tips klasik tapi sering dilanggar. Jujur, scrolling timeline mantan itu seringkali bikin hati tambah nyesek. Lebih baik alihkan ke hal-hal yang lebih bermanfaat, atau setidaknya unfollow atau mute dulu untuk sementara.

  5. Yakin Bahwa Ada Alasan di Balik Semua Ini
    Mungkin memang belum saatnya kamu bertemu dengan orang yang benar-benar ‘klik’ dan mau berjalan beriringan ke depan. Tapi yakinlah, ada seseorang di luar sana yang akan sejalan denganmu. Untuk sekarang, tugasmu adalah jadi versi terbaik dari dirimu sendiri.


Ingat, Sobat, nggak ada perpisahan yang sia-sia. Semua membawa pelajaran, semua membuat kita lebih kuat dan siap untuk cinta yang sesungguhnya.




Kenapa Bertemu Jika Pada Akhirnya Pasti Berpisah?

3/20/2025 05:32:00 AM 0 Comments


Hello Sobat! Tidak terasa ya, kita sudah memasuki bulan Maret 2025. Waktu terasa cepat berjalan, dan tanpa kita sadari, banyak hal sudah kita lewati bersama orang-orang di sekitar kita. Ada yang masih bersama kita sampai detik ini, tapi ada juga yang sudah meninggalkan jejak lalu melanjutkan perjalanan masing-masing.


Belakangan ini, saya sering merenung, apalagi setelah ngobrol dengan teman lama yang sekarang tinggal di kota berbeda. Pembicaraan kami sederhana, tapi terasa berat saat sampai di topik tentang perpisahan. Kenapa ya, kita harus bertemu jika pada akhirnya pasti akan berpisah juga?

Rutinitas yang Akhirnya Terputus

Saya jadi ingat, dulu saat kuliah, saya dan teman-teman sering nongkrong bareng. Mulai dari ngerjain tugas sampai begadang sambil makan mi instan di kosan. Rasanya waktu itu seperti tidak akan pernah habis. Tapi sekarang? Grup chat kami sudah seperti hutan yang jarang dijamah—sepi, hanya sesekali ada notifikasi yang muncul, itupun setahun sekali teman yang kirim ucapan idul fitri.


Waktu memisahkan kami. Kesibukan, tanggung jawab baru, bahkan jarak membuat momen-momen itu kini hanya tersimpan dalam kenangan. Dulu rasanya pertemuan itu akan berlangsung lama, tapi ternyata tidak.


Lalu, buat apa bertemu kalau ujung-ujungnya berpisah juga?

Belajar di Balik Pertemuan dan Perpisahan

Tapi setelah saya pikir-pikir, mungkin memang itulah esensi dari hidup. Kita bertemu untuk belajar, untuk tumbuh, dan untuk saling meninggalkan bekas, entah itu luka, tawa, atau kenangan manis. Tidak semua pertemuan dimaksudkan untuk berlangsung selamanya. Ada yang hadir hanya untuk menemani kita sementara, lalu pergi ketika waktunya tiba.


Kayak nonton drama favorit, kan? Saat episode terakhir tayang, kita merasa sedih karena sudah terlalu larut dalam ceritanya. Tapi tanpa sadar, dari drama itu kita dapat pelajaran, hiburan, bahkan teman baru yang sama-sama nonton dan diskusi di kolom komentar.


Kadang saya merasa, mungkin hidup juga begitu. Pertemuan dan perpisahan adalah "alur" yang membuat cerita kita sebagai manusia jadi lebih hidup.

Nikmati Momen Selagi Ada

Sekarang, saya mulai belajar untuk tidak terlalu lama larut dalam pertanyaan "kenapa harus berpisah?" dan lebih memilih untuk menikmati setiap detik pertemuan. Mungkin setelah ini kita akan berjalan di jalan masing-masing, tapi setidaknya kita pernah berbagi cerita, tawa, dan pelajaran.


Karena siapa tahu, dari pertemuan yang singkat itu, ada sesuatu yang bertahan lama di hati kita. Entah itu rasa syukur pernah mengenal seseorang, atau kebijaksanaan yang kita dapat dari interaksi kecil sekalipun.

Bagaimana dengan Kamu, Sobat?

Apa kamu juga pernah merasa berat menghadapi perpisahan? Atau justru kamu tipikal orang yang bisa dengan ringan melambaikan tangan dan berkata "sampai jumpa"? Coba dong, cerita di kolom komentar. Siapa tahu, kita bisa saling berbagi pandangan tentang makna di balik pertemuan dan perpisahan ini.


Jangan lupa, ya, hidup itu seperti stasiun. Ada yang naik, ada yang turun. Tapi setiap perjalanan pasti punya kisahnya masing-masing.


Ekspektasi vs Kenyataan

3/20/2025 05:29:00 AM 0 Comments



Hello Sobat!
Pernah nggak sih kamu merasa sudah merencanakan sesuatu dengan sangat matang, tapi begitu dijalani... kok hasilnya jauh dari bayangan? Ya, inilah yang sering kita temui: ekspektasi dan kenyataan yang ternyata jaraknya bisa sejauh bumi dan Pluto.


Misal nih ya, saya punya rencana buat menikmati weekend ala-ala ‘healing’. Sudah disusun rapi: bangun pagi, sarapan sehat, baca buku, lalu sore-sore nongkrong cantik di kafe favorit sambil nulis blog. Tapi apa yang terjadi? Realitanya... bangun kesiangan, sarapan seadanya, dan ujung-ujungnya rebahan sambil scrolling media sosial sampai mata perih.

Ekspektasi: Hidup Produktif ala Instagram

Saya yakin banyak dari kita sering berandai-andai, "Pokoknya weekend ini harus produktif!" Sudah ngebayangin hidup ala-ala aesthetic di Instagram—buku, kopi, laptop, dan view senja dari jendela kafe. Di kepala sudah terbayang checklist yang akan dicentang satu per satu dengan penuh semangat.

Kenyataan: Rebahan di Kasur Lebih Menang dari Sunrise

Tapi pas hari H, rebahan di kasur terasa lebih memikat daripada matahari pagi. Buku yang rencananya mau dibaca malah tergeletak di pojokan, dan kafe favorit pun hanya bisa dinikmati lewat foto orang lain di feed Instagram.


Saya jadi mikir, kok bisa ya ekspektasi dan kenyataan ini sering banget nggak sejalan?

Kenapa Kita Sering Terjebak Ekspektasi?

Ternyata, otak kita memang suka banget membuat ‘versi ideal’ dari hidup kita. Mungkin karena kita terbiasa membandingkan hidup sendiri dengan potongan-potongan highlight hidup orang lain di media sosial. Padahal, yang kita lihat itu hanya sepenggal, sedangkan realita kita penuh dengan detail kecil yang jarang diekspos—seperti malas bangun pagi atau mager mandi.

Pelajaran dari Benturan Ekspektasi dan Realita

Meski sering bikin kecewa, ekspektasi yang tidak sesuai kenyataan juga punya pelajaran penting. Kita belajar bahwa hidup nggak selalu sempurna, dan itu nggak masalah. Justru dari situ kita jadi lebih kenal diri sendiri, tahu batasan, dan belajar lebih realistis dalam menyusun rencana.

Kadang hidup memang mengajak kita berdamai dengan situasi yang nggak sesuai harapan. Tapi siapa tahu, justru dari situ kita bisa menemukan hal-hal baru yang di luar ekspektasi malah jauh lebih berkesan.

Bagaimana dengan Kamu, Sobat?

Apa kamu juga sering mengalami gap besar antara ekspektasi dan kenyataan? Yuk, share ceritamu! Siapa tahu kita sama-sama bisa ketawa bareng atau saling menguatkan.


Kenapa Wanita Selalu Merasa Tidak Punya Baju?

3/20/2025 05:28:00 AM 0 Comments

Hello Sobat!

Ada satu fenomena unik yang mungkin sering kamu dengar (atau alami sendiri): lemari penuh, tapi tetap merasa “Aku nggak punya baju!”

Coba deh, siapa di antara kita yang pernah berdiri di depan lemari, bolak-balik buka pintu, terus duduk di kasur sambil bilang, “Duh, nggak ada baju yang cocok nih.” Padahal, di dalam lemari sudah ada baju dari jaman kuliah sampai hasil belanja bulan lalu yang masih ada tag harganya.

Lemari Penuh, Tapi Tetap Kurang

Sebagai wanita, rasanya memang selalu ada saja alasan kenapa koleksi baju yang sudah seabrek itu terasa tidak cukup. Hari ini mood-nya pengin yang casual, besok butuh yang lebih chic buat hangout, lusa tiba-tiba ingat butuh outfit semi-formal buat undangan nikahan teman.


Masalahnya, bukan soal jumlah bajunya—tapi perasaan tidak ada yang “klik” dengan suasana hati saat itu. Kadang mood kita pengin tampil kece, kadang pengin santai aja, atau bahkan tiba-tiba insecure dan merasa semua baju nggak ada yang cocok di badan.

Mood dan Outfit Itu Sering ‘Bertengkar’

Jujur saja, kadang baju yang kemarin bikin kita pede, hari ini malah bikin ragu. Di sinilah konflik klasik muncul. Mood kita seperti punya peran besar dalam menilai isi lemari. Outfit yang sempurna bukan cuma soal model dan warna, tapi juga soal bagaimana baju itu membuat kita merasa nyaman dan percaya diri.

Baju Bukan Sekadar Kain

Bagi banyak wanita, baju itu punya makna lebih dari sekadar pelindung tubuh. Ia bisa jadi cerminan diri, bentuk ekspresi, bahkan “tameng” saat kita butuh boost kepercayaan diri. Nggak heran, meskipun lemari sudah penuh, tetap saja ada perasaan butuh sesuatu yang baru—sesuatu yang bisa ‘nyambung’ dengan mood dan situasi saat ini.

Solusinya? Mix & Match, atau... Shopping Lagi?

Nah, biasanya kita punya dua pilihan:

  1. Berusaha mix & match baju lama dengan aksesori atau gaya baru.
  2. Atau ya... checkout keranjang belanja online yang isinya udah ngumpul sejak seminggu lalu.


Tapi jangan lupa, kadang baju yang kita rasa “nggak punya” itu sebenarnya hanya butuh dipadupadankan dengan kreativitas dan mood yang lebih santai. Siapa tahu, baju lama bisa terasa baru lagi kalau dipadukan dengan cara yang berbeda.

Bagaimana dengan Kamu, Sobat?

Apakah kamu juga sering mengalami ‘drama’ lemari penuh tapi tetap merasa tidak punya baju? Share yuk, apakah kamu lebih suka utak-atik isi lemari atau langsung klik “beli” di e-commerce favorit?


Kenapa Wanita Sensitif Soal Berat Badan?

3/20/2025 05:26:00 AM 0 Comments



Hello Sobat!

Ada satu topik klasik yang nggak pernah gagal bikin suasana jadi awkward, bahkan tegang: berat badan. Apalagi kalau kalimat pembukanya berbunyi, “Eh, kamu kok kelihatan gemukan ya?”

Waduh... bisa-bisa senyum kita langsung kaku, hati langsung mencelos. Kenapa sih, banyak wanita sensitif banget soal berat badan? Yuk, kita bahas pelan-pelan.

Lebih dari Sekadar Angka di Timbangan

Bagi sebagian besar wanita, berat badan itu bukan cuma angka yang muncul di layar timbangan. Ia sering kali berkaitan erat dengan kepercayaan diri, penerimaan diri, dan bahkan bagaimana orang lain memperlakukan kita.

Setiap naik satu atau dua kilo, rasanya seperti ada alarm dalam kepala yang berbunyi, “Aduh, jeans ini kok lebih sempit dari kemarin?”

Tekanan dari Sekitar

Sejak kecil, kita sering dibombardir oleh standar kecantikan yang nggak realistis. Media sosial, iklan, bahkan obrolan ringan sehari-hari sering memunculkan gambaran bahwa cantik = langsing. Akibatnya, banyak dari kita yang merasa "harus" punya bentuk tubuh tertentu agar merasa cukup.

Belum lagi kalau setiap lebaran atau kumpul keluarga, pasti ada yang nyeletuk, “Eh, sekarang tambah berisi, ya?” dengan senyum yang kadang bikin geregetan.

Body Image Itu Rumit

Sebenarnya bukan hanya soal fisik, tapi juga bagaimana kita memandang diri sendiri. Ada wanita yang badannya kurus, tapi tetap merasa "gendut" saat berkaca. Ada juga yang merasa nyaman dengan tubuhnya meski jauh dari standar "ideal."

Masalahnya, body image yang negatif bisa datang dari dalam diri maupun dari luar. Kadang, kita jadi terlalu kritis sama diri sendiri hanya karena membandingkan diri dengan orang lain di Instagram.

Lebih Baik Jaga Perasaan daripada Buka Topik Sensitif

Nah, inilah kenapa pertanyaan atau komentar soal berat badan bisa jadi trigger yang kuat. Bukan berarti kita terlalu baper, tapi karena topik ini sudah terlalu sering jadi bahan perbandingan dan penilaian yang kadang bikin minder.

Jadi, daripada tanya “kok gemukan?”, lebih baik bilang, “Kamu kelihatan bahagia!”
Karena siapa tahu, berat badan naik itu karena dia lagi menikmati hidup, banyak makan enak, atau memang sedang dalam fase yang lebih santai.

Yuk, Lebih Peduli, Bukan Menghakimi

Kita semua punya perjalanan masing-masing soal tubuh dan penerimaan diri. Daripada sibuk mengomentari berat badan orang lain, lebih baik kita fokus memberi dukungan dan memotivasi agar sama-sama sehat, bahagia, dan percaya diri.

Karena yang paling penting, bukan angka di timbangan, tapi bagaimana kita merasa nyaman dan sayang sama diri sendiri.

Bagaimana dengan Kamu, Sobat?

Pernah nggak kamu merasa sensitif atau bete gara-gara komentar soal berat badan? Share yuk, pengalaman kamu menghadapi momen “ups, kenapa bahas berat badan sih?”


Wednesday, March 19, 2025

Doyan Makan vs Ga Doyan Makan

3/19/2025 10:08:00 PM 0 Comments


Hello Sobat!
Stres memang jadi "teman" yang sering mampir tanpa undangan. Tapi yang menarik, respon setiap orang terhadap stres ternyata beda-beda, lho. Ada yang begitu stres malah kalap makan, ada juga yang justru kehilangan nafsu makan total. Kalau saya pribadi, termasuk tim yang nggak doyan makan saat stres. Kamu tim yang mana nih?

Tim yang Makan Jadi Pelarian

Banyak orang yang saat stres justru merasa lapar terus. Nggak heran kalau snack, es krim, atau mi instan jadi sahabat karib mereka saat pikiran penuh beban. Makan seolah jadi "comfort zone" yang bisa menenangkan, setidaknya untuk sementara.

Fenomena ini sering disebut sebagai emotional eating, di mana makanan jadi pelampiasan emosi negatif. Dan biasanya, yang dicari bukan salad atau buah, tapi yang gurih, manis, dan tinggi kalori.
Hasilnya? Mood memang membaik sesaat, tapi kadang disusul rasa bersalah karena kalori menumpuk.

Tim yang Malah Nggak Nafsu Makan

Nah, beda cerita kalau kamu kayak saya—tim yang saat stres malah nggak doyan makan sama sekali. Rasanya perut kosong, tapi tetap nggak ada keinginan buat ngunyah. Pikiran terlalu sibuk mikirin masalah sampai lupa sama suara perut yang minta diisi.

Kadang, ini juga bikin badan makin lemas dan kepala pusing karena asupan energi kurang. Tapi entah kenapa, saat stres, makan jadi prioritas terakhir yang terpikirkan.

Kenapa Bisa Beda-beda?

Ternyata, perbedaan ini ada hubungannya sama hormon stres alias kortisol. Pada sebagian orang, kortisol memicu rasa lapar berlebihan. Tapi pada sebagian lain, stres justru memicu produksi adrenalin yang membuat perut terasa ‘kencang’ dan nafsu makan menurun.

Itu sebabnya, saat teman kita bisa makan tiga piring nasi padang saat hatinya galau, kita malah cuma bisa ngelamun di depan piring yang isinya nggak berkurang.

Stres Oke, Tapi Jangan Lupa Jaga Tubuh

Mau kamu tim yang makan banyak atau malah mogok makan saat stres, intinya tetap harus aware sama kesehatan.

Kalau kamu suka makan berlebihan, coba sesekali alihkan ke makanan yang lebih sehat, atau cari pelampiasan lain seperti olahraga ringan. Kalau kamu seperti saya yang cenderung "lupa makan" saat stres, coba buat pengingat kecil untuk tetap mengisi energi, walaupun cuma dengan camilan sehat atau minuman bergizi.

Bagaimana dengan Kamu, Sobat?

Kamu tim yang mana nih? Saat stres malah kalap makan, atau justru nggak mau sentuh makanan sama sekali? Yuk, share di kolom komentar, biar kita bisa saling relate dan kasih tips satu sama lain!


Bingung Mau Ngapain Lagi dalam Hidup ini?

3/19/2025 10:03:00 PM 2 Comments



Hello Sobat!

Pernah nggak sih kamu tiba-tiba duduk sendirian, menatap layar ponsel yang kosong, dan berpikir: "Aku mau ngapain lagi ya dalam hidup ini?"

Jujur, saya pernah—dan bahkan cukup sering.


Hidup kadang terasa kayak lagi nonton series yang udah sampai season belasan, tapi ceritanya mulai kehilangan arah. Mau lanjut, tapi kok bosan. Mau berhenti, tapi sayang udah sejauh ini. Rasanya kayak lagi "stuck" di tengah jalan tol, nggak tahu harus belok ke mana, dan GPS pun tiba-tiba kehilangan sinyal.


Fase Bingung Itu Wajar
Kalau kamu merasa sedang bingung mau ngapain lagi, jangan khawatir, kamu nggak sendirian. Banyak orang yang di titik tertentu merasa hilang arah. Entah itu karena rutinitas yang terlalu monoton, impian yang terasa menjauh, atau karena ekspektasi dan kenyataan yang nggak sejalan.

Kadang kita butuh berhenti sejenak, duduk di "rest area" hidup, dan membiarkan diri bertanya: apa yang sebenarnya aku inginkan?


Antara Ekspektasi, Realita, dan Timeline Sosial
Di zaman media sosial seperti sekarang, kita sering banget membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Teman yang sudah sukses, orang yang sudah menikah, atau mereka yang tampak "happy" dengan pencapaian-pencapaiannya.

Sementara kita? Masih merasa jalan di tempat. Padahal, hidup itu bukan lomba lari estafet yang harus secepat mungkin sampai garis finish. Setiap orang punya "timeline"-nya masing-masing, dan nggak apa-apa kok kalau kamu sedang berada di fase bingung ini.


Apa yang Bisa Dilakukan?
Biasanya saat bingung mau ngapain, saya mulai dari hal-hal kecil. Misalnya, coba kegiatan baru meski kelihatannya remeh—seperti belajar resep masakan sederhana, nonton film yang belum pernah saya lirik, atau sekadar jalan kaki sore sambil dengerin podcast.

Kadang dari hal-hal kecil itu justru muncul ide atau semangat baru.


Selain itu, saya juga coba berdamai dengan diri sendiri, bahwa merasa "lost" itu bagian dari proses. Jangan buru-buru harus tahu semua jawaban. Nikmati saja dulu, meski kadang terasa membingungkan.


Bagaimana dengan Kamu, Sobat?
Apakah kamu juga pernah merasa bingung harus ngapain lagi di hidup ini? Kalau iya, apa yang biasanya kamu lakukan untuk "reconnect" sama diri sendiri?

Yuk, share di kolom komentar. Siapa tahu, kita bisa saling menguatkan.


Jika Kenyataan tak Seindah Harapan

3/19/2025 09:58:00 PM 0 Comments


Hello Sobat!

Kamu pernah nggak merasa hidup ini seperti nonton trailer film yang seru, tapi pas nonton filmnya malah… yah, biasa aja?

Kita sering banget membangun ekspektasi dalam kepala. “Ah, nanti pasti begini, pasti bakalan bahagia.” Tapi pas kenyataan datang, boom! ternyata nggak seindah yang kita bayangkan.

Kenyataan Kadang Bikin Nyess

Saya juga pernah kok, membayangkan masa depan yang cerah, penuh warna dan senyum lebar. Tapi kenyataan justru menghadirkan langit yang kelabu. Hidup nggak selalu berjalan sesuai rencana, kan?


Kita lulus kuliah, ekspektasinya langsung dapat kerjaan idaman. Kenyataannya? Dapat email penolakan berkali-kali.

Kita suka sama seseorang, ekspektasinya bisa jadian. Kenyataannya? Cuma dianggap teman atau malah jadi stranger.

Lalu, Apa? Diam dan Menyesal?

Nggak juga. Kita boleh kecewa, kok. Kita manusia. Tapi setelah itu, kita juga bisa memilih: mau terjebak di rasa kecewa atau mau bangkit dan cari jalan lain.


Saat kenyataan nggak seindah harapan, mungkin itu sinyal buat kita untuk lebih fleksibel. Kadang hidup seperti jalan setapak di hutan; kita nggak selalu tahu belokan mana yang akan membawa kita ke pemandangan yang lebih indah.

Belajar Ikhlas dan Adaptif

Bukan berarti kita harus berhenti bermimpi. Tapi kita belajar untuk lebih “mengalir”. Kalau kenyataan berkata tidak, mungkin ada iya di tempat lain. Kalau kenyataan berkata belum, mungkin semesta minta kita bersabar sedikit lebih lama.


Belajar ikhlas itu memang berat. Tapi pelan-pelan, kita akan lebih paham bahwa tidak semua ekspektasi harus tercapai untuk bisa bahagia. Kadang, bahagia hadir justru dari hal-hal yang nggak kita rencanakan sebelumnya.

Bagaimana dengan Kamu, Sobat?

Pernah nggak kamu merasa jatuh karena ekspektasi yang nggak kesampaian? Apa yang kamu lakukan waktu itu? Diam, menangis, marah, atau justru menemukan kekuatan baru di balik kecewa?


Yuk, ceritain di komentar. Siapa tahu, ceritamu bisa jadi penyemangat buat Sobat lainnya yang lagi merasakan hal yang sama.

Potret Buram di Balik Kerasnya Hidup: Kontemplasi tentang Pekerja Migran Indonesia di Hongkong

3/19/2025 09:39:00 PM 0 Comments

Halo Sobat! Siapa youtuber favoritmu? Belakangan ini saya baru menemukan channelnya Miss Yuni, eks TKW Hongkong yang banyak membantu permasalahan Pekerja Migran Indonesia (PMI) khususnya Hongkong. Beliau juga pernah muncul di acara Kick Andy. Channel beliau sangat inspiratif dan banyak pelajaran yang bisa dipetik. Dalam pandangan saya beliau itu orang yang sangat baik dan sabar. Apa yang beliau lakukan itu sangat mulia, sangat bermanfaat untuk banyak orang khususnya PMI Hongkong. Setiap hari beliau mendengarkan curhatan para pekerja migran. Kebayang tidak Sobat betapa lelahnya mendengar curhatan orang banyak. Beliau juga memberikan solusi dari setiap orang yang curhat. Bagi saya, mendengar cerita orang itu membuat energi saya terkuras dan menambah beban pikiran. Apalagi kalau ceritanya negatif, saya menyerap energi negatifnya. Dan saya tidak suka itu karena hal itu bisa mempengaruhi mood saya. Makanya, menurut saya Miss Yuni itu sangat kuat. Salut!


Setiap kali saya menonton video di channel YouTube Miss Yuni, saya selalu merasa tergerak dan termenung. Channel tersebut banyak membahas keseharian para PMI di Hongkong. Namun, di balik cerita-cerita perjuangan mereka yang mengadu nasib di negeri orang, terselip realita yang jauh dari harapan.


Berangkat ke Hongkong dengan harapan memperbaiki ekonomi keluarga, banyak PMI justru terjerat dalam masalah yang tak pernah mereka bayangkan. Salah satu hal yang mencolok dari kontemplasi saya adalah bahwa persoalan terbesar mereka bukan hanya tekanan dalam pekerjaan, seperti masalah dengan majikan, jam kerja yang panjang, atau kurangnya waktu istirahat. Masalah terbesar justru banyak datang dari sisi lain kehidupan mereka: keuangan dan relasi personal.

Hutang dan Janji Manis di Dunia Maya

Ada banyak kisah PMI yang akhirnya terjerat hutang. Awalnya mungkin hanya pinjaman kecil untuk modal keberangkatan atau membantu keluarga di kampung. Namun, di tengah kesepian dan kerentanan di negeri orang, sebagian dari mereka jatuh dalam perangkap rayuan para pria asing yang dikenal lewat media sosial. Tak sedikit yang akhirnya tertipu, mengirim uang yang tak sedikit untuk lelaki yang hanya menjual janji. Akibatnya, hutang menumpuk dan beban psikologis makin berat.

Rumah Tangga yang Retak di Perantauan

Kehidupan jauh dari keluarga memang penuh cobaan. Banyak PMI yang terpaksa meninggalkan suami, istri, atau anak-anak di kampung halaman. Namun, di Hongkong, godaan datang bertubi-tubi. Perselingkuhan seringkali terjadi—baik yang sudah berkeluarga maupun yang masih lajang. Ada kisah-kisah tentang PMI yang akhirnya terlibat hubungan terlarang, hingga hamil tanpa kepastian siapa yang akan bertanggung jawab. Mirisnya, beberapa di antaranya justru hamil dari majikan sendiri. Sebuah situasi yang sangat kompleks dan menyakitkan.

Lajang Bukan Berarti Aman

Bahkan mereka yang lajang pun tak luput dari masalah. Ada yang jatuh cinta dengan sesama warga asing di sana, namun saat kehamilan terjadi, si pria menghilang tanpa jejak. Di sinilah rasa malu, takut, dan penyesalan bercampur aduk. Pilihan yang tersisa pun terasa serba salah: melanjutkan kehamilan dalam keterbatasan atau pulang ke kampung dengan membawa aib yang sulit diterima masyarakat.

Di Balik Masalah, Ada Kekuatan yang Terpendam

Tentu tidak semua PMI mengalami hal ini. Ada banyak juga yang tegar, bekerja keras, dan mampu menjaga diri serta martabatnya. Namun, realita yang dibagikan Miss Yuni menunjukkan betapa pentingnya mental dan spiritual yang kuat bagi para PMI. Mereka bukan hanya butuh keterampilan kerja, tapi juga bekal psikologis untuk menghadapi kerasnya hidup di luar negeri.


Channel seperti milik Miss Yuni memberikan kita jendela untuk lebih memahami bahwa menjadi PMI itu bukan hanya soal meninggalkan tanah air demi uang semata. Tapi juga soal perjuangan menjaga akhlak, martabat, dan menghadapi godaan yang tak pernah mudah.

Lalu, apa yang bisa kita pelajari dari mereka?

Apakah kita sudah cukup peduli untuk membantu dan memberi pemahaman yang lebih kuat bagi para saudara kita yang akan atau sedang bekerja di luar negeri? Bagaimana seharusnya kita membekali mereka agar tak hanya kuat secara fisik, tapi juga kokoh secara mental dan spiritual?


Bagaimana menurut kamu, Sobat?


Saya pribadi tidak menghakimi apa yang dilakukan para PMI yang curhat ke Miss Yuni. Setiap orang punya masalahnya masing-masing. Tiap orang dihadapkan pada kondisi hidupnya masing-masing. Kita tak ada di posisi mereka, kita tak tahu apa yang mereka alami. Kita bukan keluarganya. Kita bukan siapa-siapa. Kita hanya penonton. Jadi siapa kita untuk menghakimi? Jika kita tidak bisa membantu secara langsung, lebih baik kita doakan mereka agar terlepas dari permasalahannya. Mereka adalah orang-orang yang perlu bantuan, orang-orang yang perlu dirangkul. Cukup mereka saja yang mengalami. Segala apa yang mereka alami kita jadikan sebagai pelajaran untuk diri kita.


Dari cerita-cerita mereka saya tarik kesimpulan bahwa salah satu problem mereka ada di pola pikir. Kenapa saya bilang demikian? Seringkali saya mendengar PMI yang curhat berkata, "Sudah rusak, rusak sekalian. Sudah jelek, jelek sekalian."


Menurut saya di sini ada yang tidak pas dengan pola pikirnya. Jika memang kita melakukan kesalahan, maka perbaiki kesalahan. Jika kita ada masalah, maka cari solusi. Jangan menambah masalah dengan masalah baru lagi. Jangan mencari pelarian yang malah menambah masalah. Pelarian itu senangnya sesaat. Rasa bersalahnya bisa seumur hidup. Hati kecil tak bisa dibohongi setiap kali kita melakukan hal yang salah atau dosa ya. Apakah hati kita tenang? Bohong jika kamu bilang tenang karena itu artinya hatimu sudah mati. Pertanda hatimu tak bisa merasakan apa-apa lagi.


Selain itu permasalahannya adalah mengontrol hawa nafsu. Sangat sering saya mendengar PMI yang tertipu pria online dan diancam akan disebarkan video seksinya. Saya berpikir kenapa begitu mudahnya para wanita yang tak lain kaum saya ini membuka baju di kamera dengan pria-pria asing yang mungkin baru beberapa hari dikenal? Tak jarang juga yang saya dengar ini adalah wanita yang sudah mempunyai suami dan anak di kampung. 


Kisah lain adalah kehidupan bebas PMI di sana entah dengan pacar orang Indonesia, orang Hongkong maupun dari negara lain yang sama-sama tinggal di Hongkong lalu mereka menangis-nangis bingung karena hamil dan si pria tidak mau bertanggung jawab. Saya berpikir apakah sudah sebegitu bebasnya pergaulan wanita Indonesia. Ini berlaku baik yang single maupun sudah menikah. Bagi yang menikah seolah tak ingat ada suami yang menanti di kampung. Saya tidak tahu beban apa yang mereka bawa dari kampung sehingga mereka demikian. Kesimpulan lain adalah kurang kuatnya pondasi iman sehingga mereka mudah tergoda. Entah karena godaan suasana hidup di sana atau karena memang mereka membawa baggage dari kampung.


Yang terpikir oleh saya adalah mereka terlalu berani. Berani berbuat tanpa memikirkan akibat jangka panjangnya. Pikiran mereka pendek. Saat senang ya senang. Giliran hamil baru bingung. Giliran ga bisa bayar hutang baru bingung. Menyesal memang tak pernah di awal ya sobat. Banyak dari mereka terjerat hutang bank dan rentenir. Bukankah itu artinya mereka sangat berani? Hutang bank di luar negeri bahkan melebihi kemampuan untuk membayar. Ada yang hutang sampai 5 bank. Belum lagi paspor digadai. Kalau tiba-tiba majikan memutuskan kontrak mereka mau bagaimana? Hutang harus dibayar. Selain berani hutang, mereka cukup berani berhubungan dengan pria di sana. Keberanian lain? Mereka berani kabur dari majikan dan menggelandang di luar. Entahlah ya memang pelik kehidupan yang mereka jalani. Sobat, ini hanya potret mereka yang problematik ya. Yang benar-benar bekerja dan sukses tentunya juga banyak.


Soal hutang, di posting saya dulu pernah membahas tentang hutang. Hutang itu seolah sudah menjadi hal lumrah dalam kehidupan di masyarakat kita. Malah bisa dikatakan semacam budaya. Sesuatu yang normal. Mungkin bisa dibilang ga seru kalau ga hutang. Untuk kita masyarakat kecil ini banyak sekali yang terlilit hutang entah karena saking lumrahnya berhutang atau bagaimana. Padahal hutang itu tidak bisa digampangkan. Hutang harus dibayar. Hutang juga bisa mengakibatkan seseorang bunuh diri. Jangan menggampangkan hutang. Enak pas dapat uang, ga enak pas bayar hutang.


Saya bisa memahami mereka yang berasal dari kampung lalu hidup di sana di kota metropolitan pasti mengalami perbedaan yang sangat nyata. Di kampung susah cari duit sementara di sana bisa dapat sekitar 10 juta atau lebih per bulan. Sangat jomplang. Kita yang ga pernah keluar hidup di kampung lalu keluar eh ke kota metropolitan mungkin sudah kayak lepas dari kandang. Bebas. Mungkin wajar saja sih ya. Saya sendiri juga dari kampung dan saat ini saya tinggal di jakarta. Saya bisa merasakan perbedaan yang sangat signifikan. Tapi ya semua itu tergantung bagaimana kita menyikapi dan bagaimana kita komit dengan tujuan hidup kita. 


Sekian untuk malam ini. Selamat malam sobat semoga tidurmu nyenyak dan selalu dilimpahkan keberkahan dan kesehatan. Cheers!


Tuesday, March 18, 2025

Hanya untuk Diikhlaskan: Dari Pelajaran Hidup

3/18/2025 02:38:00 PM 0 Comments



Hello Sobat!

Kamu pernah nggak merasa hidup ini seperti nonton trailer film yang seru, tapi pas nonton filmnya malah… yah, biasa aja?

Kita sering banget membangun ekspektasi dalam kepala. “Ah, nanti pasti begini, pasti bakalan bahagia.” Tapi pas kenyataan datang, boom! ternyata nggak seindah yang kita bayangkan.


Kenyataan Kadang Bikin Nyess

Saya juga pernah kok, membayangkan masa depan yang cerah, penuh warna dan senyum lebar. Tapi kenyataan justru menghadirkan langit yang kelabu. Hidup nggak selalu berjalan sesuai rencana, kan?


Kita lulus kuliah, ekspektasinya langsung dapat kerjaan idaman. Kenyataannya? Dapat email penolakan berkali-kali.


Kita suka sama seseorang, ekspektasinya bisa jadian. Kenyataannya? Cuma dianggap teman atau malah jadi stranger.


Lalu, Apa? Diam dan Menyesal?

Nggak juga. Kita boleh kecewa, kok. Kita manusia. Tapi setelah itu, kita juga bisa memilih: mau terjebak di rasa kecewa atau mau bangkit dan cari jalan lain.


Saat kenyataan nggak seindah harapan, mungkin itu sinyal buat kita untuk lebih fleksibel. Kadang hidup seperti jalan setapak di hutan; kita nggak selalu tahu belokan mana yang akan membawa kita ke pemandangan yang lebih indah.


Belajar Ikhlas dan Adaptif

Bukan berarti kita harus berhenti bermimpi. Tapi kita belajar untuk lebih “mengalir”. Kalau kenyataan berkata tidak, mungkin ada iya di tempat lain. Kalau kenyataan berkata belum, mungkin semesta minta kita bersabar sedikit lebih lama.


Belajar ikhlas itu memang berat. Tapi pelan-pelan, kita akan lebih paham bahwa tidak semua ekspektasi harus tercapai untuk bisa bahagia. Kadang, bahagia hadir justru dari hal-hal yang nggak kita rencanakan sebelumnya.


Bagaimana dengan Kamu, Sobat?

Pernah nggak kamu merasa jatuh karena ekspektasi yang nggak kesampaian? Apa yang kamu lakukan waktu itu? Diam, menangis, marah, atau justru menemukan kekuatan baru di balik kecewa?


Yuk, ceritain di komentar. Siapa tahu, ceritamu bisa jadi penyemangat buat Sobat lainnya yang lagi merasakan hal yang sama.


Mencintai Diri Sendiri Tanpa Batas

3/18/2025 02:38:00 PM 0 Comments



Hello Sobat!

Sering dengar kalimat "Cintai dirimu sendiri dulu sebelum mencintai orang lain" Kedengarannya klise, ya? Tapi percayalah, mencintai diri sendiri sepenuh hati itu penting banget, Sobat! Bukan sekadar 50 persen atau 80 persen, tapi benar-benar 10 dari 10!


Kenapa Harus 100%?

Karena kita adalah rumah pertama bagi diri kita sendiri. Coba bayangin kalau rumah kita rapuh, bocor di sana-sini, dan tidak nyaman—bagaimana kita bisa jadi tempat yang hangat untuk orang lain?


Begitu juga dengan diri kita. Kalau kita nggak penuh dengan cinta dan penerimaan terhadap diri sendiri, kita akan mudah rapuh saat menghadapi dunia luar.


Alasan lain kenapa harus 100%, misalkan nih, badan kita sakit atau terluka, siapa yang mau peduli? Siapa yang mau merawat? Tak mungkin orang lain, pasti kita sendiri kan? Karena kita pemilik tubuh kita sendiri maka kitalah yang semestinya paling sayang dengan tubuh kita. Tak mungkin orang lain memperlakukan kita sebaik kita memperlakukan diri kita sendiri. Mau kita sakit mau nggak, orang lain tak akan perduli. Dan kita juga tak mungkin mengharapkan orang lain kan? Jadi, sayangilah dirimu sendiri, karena kalau terjadi apa-apa maka kamu sendiri yang merasakan. Kamu sendiri yang harus bangkit.


Mencintai Diri Sendiri = Menghargai Diri Sendiri

Cinta yang penuh untuk diri sendiri adalah bentuk penghargaan paling jujur. Kita mulai belajar memaafkan diri atas kesalahan masa lalu, memberi waktu untuk istirahat saat lelah, merayakan keberhasilan sekecil apapun, dan berkata "Aku cukup baik" tanpa ragu.


Biar Gak Gampang Kalah oleh Omongan Orang

Ketika cinta diri kita utuh, kritik orang lain tak akan dengan mudah menjatuhkan kita. Kita tahu batasan dan nilai kita, sehingga nggak gampang dibandingkan atau merasa kurang hanya karena standar orang lain.


Lebih Mudah Menarik Hal-Hal Positif

Orang yang mencintai dirinya sendiri akan memancarkan energi yang positif. Bukan berarti jadi sombong, tapi kita jadi lebih mudah menarik orang, pengalaman, dan peluang yang sehat dalam hidup. Kita jadi lebih selektif dan sadar, siapa dan apa yang layak untuk kita perjuangkan.


Cinta Diri Itu Bukan Egois, Tapi Perlu

Sobat, ini penting! Mencintai diri sendiri bukan berarti kita jadi egois atau nggak peduli orang lain. Justru, ketika kita utuh dan penuh cinta pada diri sendiri, kita bisa lebih tulus dalam memberi ke orang lain.


Bagaimana dengan Kamu, Sobat?

Sudahkah kamu mencintai dirimu hari ini?
Apa ada kebiasaan yang kamu lakukan untuk menunjukkan rasa sayang ke diri sendiri? 

Yuk, cerita di kolom komentar. Karena mencintai diri sendiri adalah langkah pertama menuju hidup yang lebih bahagia.

Antara Lesunya Minat dan Hasrat yang Tak Pernah Usai

3/18/2025 02:37:00 PM 0 Comments

Apakah kamu pernah merasa semakin hari minat membaca dan menulis yang dulu begitu kuat kini justru memudar? Saya pun sedang mengalaminya. Dulu, semangat saya membeli buku sangat besar. Rasanya ada kebahagiaan tersendiri saat membawa pulang buku baru dan menumpuknya di rak. Namun, belakangan ini, banyak buku yang bahkan belum selesai saya baca hingga ke halaman terakhir.


Tak berhenti di situ, penurunan semangat ini merambah pada aktivitas menulis saya. Dulu, menulis terasa seperti ruang aman untuk menumpahkan pikiran dan imajinasi. Kini, saya merasa lesu bahkan untuk sekadar mengetik satu paragraf. Ada apa gerangan?

Tenggelam dalam Dunia Digital

Saya mulai menyadari bahwa waktu saya lebih banyak dihabiskan untuk berselancar di internet. Entah itu sekadar mencari informasi, menonton video di YouTube, atau membaca artikel-artikel ringan. Anehnya, bahkan minat untuk menonton drama atau film yang dulu saya sukai pun ikut berkurang. Media sosial? Sudah lama saya tidak aktif meskipun akun saya masih ada.


Saya pun mulai bertanya-tanya, apakah ini karena saya tidak memiliki televisi sehingga YouTube menjadi pelarian utama? Memang ada pelajaran yang saya dapatkan dari video-video tersebut, tetapi lama-kelamaan muncul perasaan bahwa saya bisa melakukan sesuatu yang lebih bermakna — lebih dari sekadar menjadi penonton pasif.

Rindu Piknik dan Godaan Jalan-Jalan

Di tengah kelesuan ini, anehnya saya justru merasa sering ingin pergi jalan-jalan. Seolah-olah raga ini butuh keluar dari rutinitas dan menyegarkan diri. Mungkin benar, saya sedang "kurang piknik." Tapi saya sadar, jalan-jalan itu perlu biaya. Dan saya cukup bijak untuk tidak serta-merta menuruti keinginan tanpa batas.


Saya sadar, hasrat ini perlu dikendalikan. Keinginan untuk pergi ke sana dan ke situ besar, tetapi saya tahu bahwa tanpa perencanaan yang matang, bisa-bisa saya hanya mengikuti nafsu dan akhirnya menyesal.

Menyusun Rencana dan Belajar Bersabar

Bukan hanya soal jalan-jalan, saya menyadari bahwa saya punya banyak sekali keinginan lain. Ingin mencoba ini, ingin memulai itu. Namun, saya juga paham bahwa semuanya tidak bisa diwujudkan sekaligus. Harus perlahan, satu per satu. Di sinilah saya belajar pentingnya mengontrol diri dan bersabar.


Meski saya termasuk tipe yang bisa nekad, saya tidak suka mengambil keputusan secara tergesa-gesa. Setiap langkah yang saya ambil, sebisa mungkin melalui pertimbangan yang matang. Namun di sisi lain, saya juga meyakini pentingnya "cepat action." Karena jika terlalu lama menunda, bisa jadi peluang yang ada di depan mata akan lenyap begitu saja.

Antara Zona Aman dan Keberanian Bertindak

Dalam setiap keputusan, selalu ada pertimbangan: apakah saya memilih tetap di zona aman atau berani keluar dan mengambil risiko? Saya tahu, berada di zona nyaman mungkin terasa aman dan tenang. Tapi jika ingin meraih hal-hal besar, seringkali dibutuhkan keberanian untuk melangkah, meski ada risiko yang harus dihadapi.


Saya mulai memahami bahwa dalam hidup ini, kita harus rela mengorbankan sesuatu demi mendapatkan hal lain. Jika terlalu berhati-hati, saya mungkin tidak akan pernah mendapatkan "A" yang saya impikan, atau jika pun dapat, mungkin akan datang sangat lambat.

Prioritas Wajib dan Sisanya adalah Bonus

Akhirnya saya sadar bahwa saya harus menyusun prioritas. Apa yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab utama, itu yang harus saya fokuskan terlebih dahulu. Sisanya? Biarlah menjadi pelengkap saja. Jika keinginan-keinginan kecil itu bisa terwujud, tentu saya bersyukur. Namun, jika tidak pun, saya harus legowo.


Setiap hari, saya terus belajar menyeimbangkan keinginan, rencana, dan realita. Dan yang terpenting adalah, saya ingin tetap berkarya dan hidup dengan lebih bermakna — bukan hanya menjadi penonton kehidupan dari balik layar gadget.


Bagaimana dengan kamu? Apakah pernah merasa kehilangan minat pada hal-hal yang dulu kamu cintai, lalu menemukan diri terjebak dalam siklus yang sama seperti saya?


Malas Gerak: Antara Rebahan dan Produktivitas

3/18/2025 09:06:00 AM 0 Comments

Hello Sobat! Tidak terasa, kita sudah kembali dipertemukan dengan bulan suci Ramadhan di tahun 2025 ini. Alhamdulillah, kita masih diberikan umur dan kesehatan untuk melaksanakan puasa, semoga semua ibadah kita lancar sampai hari raya Idul Fitri, ya.

Libur beberapa hari di awal ramadhan lalu, dan saya yakin sebagian dari kalian juga seperti saya—jadi kaum rebahan. Jujur, saya punya keinginan untuk pulang kampung, tapi rasanya tanggung. Nanti baru pulang sebentar eh sudah pulang lagi idul fitri. Membayangkan perjalanan jauh di tengah puasa itu... kok terasa berat ya?


Akhirnya, libur saya habiskan dengan aktivitas yang sudah jadi "default" saya di masa-masa malas: rebahan, main game, nonton YouTube dan Netflix. Sungguh, nikmat rebahan itu kadang tidak ada tandingannya. Apalagi ketika game leveling up dan episode drama yang saya tonton bertambah. Tapi, saya juga sadar, semua itu tak meninggalkan "jejak" apa-apa selain rasa puas sesaat.

Produktif atau Sekadar Menikmati Waktu?

Saya sempat berpikir, kenapa sih kita sering merasa malas gerak? Apalagi di bulan Ramadhan. Badan berat, pikiran mager, dan rasanya lebih nyaman memeluk bantal ketimbang bangkit dan melakukan sesuatu yang lebih "bernilai".


Tapi tetap saja, meski "rebahan", saya masih menyempatkan diri untuk menjalani rutinitas wajib seperti masak dan cuci baju. Hal-hal sederhana yang meski tidak menghasilkan uang, tapi setidaknya ada hasil kasat mata—baju bersih, perut kenyang, rumah yang lumayan rapi. Saya menyebut ini sebagai produktif versi minimalis.


Yang agak berbeda adalah saat saya kembali menulis blog ini. Meskipun tulisan ini hanya berdiam di dunia maya, tidak nyata seperti baju yang bersih atau dapur yang harum karena masakan, tapi tetap saja ada kepuasan tersendiri. Menulis ini membuat saya merasa "bergerak", meski hanya jari-jari di atas keyboard.

Mengapa Kita Sering Malas Gerak?

Fenomena malas gerak ini memang menarik untuk direnungkan. Ada saatnya kita punya rencana besar di kepala. Misalnya, "Jam 3 sore nanti saya ke pasar, belanja buat buka puasa." Tapi saat waktu itu datang, tubuh malah menolak. Rasanya kasur seperti menyedot kita lebih kuat daripada gravitasi bumi.


Padahal, kita tahu jika kita bergerak dan ke pasar, hasilnya jelas—stok makanan untuk beberapa hari ke depan. Tapi ketika rasa malas itu menguasai, kita akhirnya memilih pasrah dengan apa yang ada di dapur.


Mungkin ini soal energi yang menurun saat puasa. Mungkin juga karena gaya hidup digital kita yang membuat rebahan dan scrolling terasa lebih menggoda dibanding harus keluar rumah di bawah terik matahari. Tapi bisa jadi, ini juga sinyal tubuh dan pikiran kita yang lelah dan butuh jeda.

Refleksi di Balik Rebahan

Terkadang, saya merasa bersalah karena terlalu memanjakan diri dalam zona nyaman ini. Tapi di sisi lain, saya juga belajar untuk menerima bahwa kita manusia memang tidak harus selalu produktif 24 jam. Ada masanya untuk slow down, mengisi ulang energi, dan menyadari bahwa rebahan pun, asal tidak berlebihan, bisa menjadi bagian dari self-care.


Namun, jangan sampai malas gerak ini menjadi kebiasaan yang merugikan. Karena kalau semua hanya ditunda, semua hanya dinikmati dalam angan, kita bisa kehilangan banyak peluang dan pengalaman baru di luar sana.

Bagaimana dengan Kamu, Sobat?

Apa kamu juga merasa lebih sering malas gerak di Ramadhan ini? Atau justru punya trik agar tetap semangat bergerak dan produktif meskipun sedang berpuasa?

Apa yang Sebenarnya Membuat Hidup Layak Dijalani?

3/18/2025 08:42:00 AM 0 Comments


Kadang kita duduk sendirian, entah di kamar, di perjalanan, atau di sudut kafe yang sepi, lalu tanpa sadar bertanya: “Apa sih yang bikin hidup ini layak dijalani?”

Di tengah lelah, kegagalan, atau bahkan kesuksesan yang terasa hambar, pertanyaan itu muncul begitu saja.

Bukan Sekadar Target atau Capaian

Sebagian dari kita mungkin berpikir jawabannya ada pada keberhasilan: pekerjaan impian, materi yang cukup, atau pencapaian besar. Tapi, pernahkah kamu perhatikan bahwa ada orang yang sudah "punya segalanya", tapi tetap merasa kosong?

Mungkin karena pada dasarnya, hidup bukan hanya tentang to-do list yang penuh centang. Hidup yang layak dijalani sering kali lahir dari hal-hal yang lebih dalam, lebih personal.

Makna di Balik Rutinitas

Apa yang membuat kita bertahan melewati hari-hari berat? Bisa jadi, itu adalah tawa kecil dari orang tersayang, pelukan hangat dari keluarga, obrolan ringan dengan sahabat, atau bahkan harapan kecil yang belum sepenuhnya pudar.

Bahkan saat hidup terasa seperti siklus yang berputar tanpa henti, makna itu tersembunyi di dalam hal-hal sederhana yang kita temui setiap hari.

Koneksi, Bukan Hanya Prestasi

Manusia adalah makhluk sosial. Kadang yang kita butuhkan bukan medali, bukan tepuk tangan, tapi seseorang yang mendengarkan dan mengerti kita.

Hidup terasa lebih berarti saat kita bisa berbagi cerita, peduli pada orang lain, atau merasakan kehadiran yang tulus dari mereka yang kita cintai. Koneksi inilah yang sering jadi bahan bakar, bahkan ketika dunia terasa berat.

Kebahagiaan Kecil yang Membesar

Hidup yang layak dijalani tidak selalu tentang pencapaian luar biasa. Terkadang, rasa cukup datang dari hal-hal kecil:

  • Menyaksikan matahari terbit
  • Tersenyum tanpa alasan saat ingat kenangan lucu
  • Mendengar lagu yang pas di waktu yang tepat
  • Merasa damai saat hujan turun dan kamu duduk dengan secangkir teh

Menemukan Arti Versi Kita Sendiri

Setiap orang punya versi sendiri tentang hidup yang “layak”. Bagi sebagian orang, itu tentang mimpi yang besar. Bagi yang lain, itu tentang ketenangan dan keikhlasan. Tidak ada rumus baku. Yang pasti, ketika kita mulai menghidupkan makna di dalam diri, kita akan lebih siap menghadapi apapun di luar sana.

“The purpose of life is not just to survive, but to thrive – and to do so with passion, compassion, and joy.” – Maya Angelou

Pertanyaan untuk Kamu

  • Apa yang membuatmu bangun setiap pagi dan tetap melangkah, bahkan di hari-hari sulit?
  • Menurutmu, apa hal kecil yang tanpa sadar membuat hidupmu terasa lebih bermakna?
  • Apakah kamu sudah menemukan alasan kenapa hidup ini layak untuk kamu jalani?

Hidup ini mungkin rumit dan penuh pertanyaan, tapi kita masih di sini, mencoba mencari jawabannya bersama-sama.


Saat Semua yang Kamu Inginkan Sudah Kamu Miliki, Lalu Apa?

3/18/2025 08:40:00 AM 0 Comments


Pernah nggak kamu bayangkan, gimana rasanya kalau semua yang kamu impikan sudah ada di genggaman? Karier yang kamu kejar tercapai, barang-barang yang kamu idamkan terbeli, kehidupan yang dulu hanya kamu tulis di jurnal sudah jadi kenyataan.


Tapi anehnya, kadang setelah semua itu tercapai… kita justru bertanya: “Lalu apa?”

Kenapa Rasanya Masih Ada yang Kurang?

Ada orang yang berhasil mencapai target besarnya: naik jabatan, beli rumah impian, jalan-jalan ke tempat yang selama ini hanya dilihat di Instagram. Tapi setelah itu? Bukannya merasa penuh, malah muncul ruang kosong yang entah datang dari mana.

Mungkin ini karena kita terbiasa mengaitkan kebahagiaan dengan pencapaian. Padahal, saat satu pencapaian berhasil diraih, manusia cenderung menetapkan target baru. Seperti lomba lari tanpa garis finish yang jelas.

Kebahagiaan Itu Bukan di Ujung Jalan

Sering kali kita berpikir, “Nanti aku bahagia kalau sudah punya ini, kalau sudah sampai di sana.” Tapi hidup ternyata bukan cuma soal "sampai" di tujuan, tapi tentang bagaimana kita menjalaninya.

Setelah kita memiliki semuanya, yang tersisa justru pertanyaan, “Apa yang sebenarnya membuatku bahagia, selain daftar keinginan yang sudah centang semua ini?”

Kehampaan Setelah Kemenangan

Aku pernah dengar istilah “post-achievement emptiness”—rasa kosong yang muncul setelah kita mendapatkan sesuatu yang sudah lama kita kejar. Ternyata, kebahagiaan bukan hanya dari hasil akhirnya, tapi dari proses yang kita jalani, pelajaran yang kita temui, dan makna yang kita rasakan selama perjalanan itu sendiri.

Lalu Apa?

Mungkin, saat semua yang kita inginkan sudah kita miliki, kita mulai sadar bahwa yang benar-benar kita cari adalah sesuatu yang lebih dalam: koneksi yang tulus dengan orang lain, perasaan cukup dengan diri sendiri, atau kontribusi yang kita beri ke dunia.

“Memiliki segalanya bukan berarti merasakan segalanya.”

Kadang, kita hanya butuh berhenti sejenak dan bertanya, “Apa yang ingin aku bagi? Apa yang ingin aku maknai, bukan hanya miliki?”

Tanya untuk Diri Kita Sendiri

  • Kalau semua keinginanmu sudah kamu miliki, apa yang akan kamu lakukan setelahnya?
  • Apakah kebahagiaanmu selama ini lebih banyak datang dari ‘memiliki’ atau ‘merasakan’?
  • Menurutmu, apa makna yang paling penting untuk kamu kejar setelah semua target duniawi tercapai?

Mungkin nggak ada jawaban pasti. Tapi yang jelas, hidup nggak berhenti di kata "mencapai". Hidup berlanjut di kata "menghidupi".


Bagaimana denganmu, Sobat?