"Semudah itu? Iya. Semudah itu. Saya terpikir kejadian pagi di mana tak ada satupun dari mereka yang menawari saya, bukan untuk minta gratisan ya tapi..."
Pagi ini saya tersentuh satu hal. Bukan hal besar, melainkan hanya satu hal kecil. Mungkin dari judul tulisan ini sudah bisa ditebak. Jamaica...
Kamu pasti kenal jamaica. Ini bukan tentang sebuah negara bernama jamaica. Bukan pula seseorang bernama jamaica. Tapi hanya sebuah jambu berwarna merah tua yang penampakannya mirip sekali jambu bol namun juga setengah jambu air jika kamu lihat sisi bawahnya.
Ketika saya sedang berada di ruang sebelah (kantor), tiba-tiba datang seseorang dari luar kantor (bukan pegawai kantor) membawa satu kantong kresek jamaica. Seorang pegawai perempuan menyambutnya.
"Wah, apa itu?" tanya saya.
Saya lihat penampakannya dari luar kresek seperti jambu bol. Jadi teringat masa pulang kampung idul adha lalu saya bilang ke teman karib saya kalau saya pengen jambu bol. Saya teringat pohon jambu bol di depan rumah saya yang kini sudah ditebang (saat saya tak ada di rumah). Lalu teman saya cerita kalau dia dulu malah ngidam jamaica sewaktu hamil. Teman saya menyarankan mampir di pinggiran jalan menuju Kota Bandar Lampung karena biasanya ada yang jual jamaica.
"Beli mbak kalau mau, 1000 dapat 3 buah," jawab teman yang membeli di kantor tadi.
Saya pun melihat-lihat isi kreseknya karena penasaran.
"Beli di mana?" tanya saya tertarik.
"Pesan..." jawabnya.
"Wah, ga bilang-bilang."
"Ini punya A, B, C, D" katanya.
Wah, sudah pesanan semua ya. Padahal saya pengen mencicipi satu saja. Mupeng. :(
Di kresek tadi saya lihat yang tidak dibungkus kresek di dalamnya sekitar dua atau tiga tapi sudah terlalu matang nampaknya sudah kurang cantik penampilannya. Bonus? Entahlah.
"Beli punya C saja satu," timpal salah seorang yang lain di ruangan itu. C tak ada di ruangan.
Kenapa nawar-nawarkan punya orang? Jelaslah saya tak mau seperti itu.
Saya kembali ke ruangan saya. Tak lama kemudian, dua orang ribut-ribut mau membayar pesanan jamaica. Wah ternyata orang di ruanganku juga membeli. Kenapa saya tak tahu informasinya padahal saya standby.
"Kok ga bilang-bilang sih," kata saya.
"Ada, kemarin si E ke sini nawarin siapa yang mau beli," jawab salah seorang yang beli.
"Masa sih? Kok aku ga tau ya," jawabku.
"Oh mungkin kamu ga paham pas dia ngomong karena pakai bahasa Kaur."
"Oh iya kali ya."
Glek. Memang, sejak 5 bulan kepindahan saya di tempat baru ini yang bahasa sehari-harinya bahasa daerah sini, saya banyak tidak paham apa yang orang kantor cakapkan. Wew :(
"Mau? Ini ibu kasih satu." Seorang ibu yang juga beli menawari satu buah buat saya sambil meletakkannya di atas meja saya.
"Saya beli satu ya, Bu!" kata saya.
"Nggak usah. Kayak apa aja." Si Ibu menolak.
Saya terus menawar tapi Si Ibu terus menolak. Saya terima si jamaica dan tak lupa berterima kasih.
Di depan komputer pikiran saya melayang. Entah kenapa saya tersentuh dengan kebaikan SI Ibu. Semudah itu? Iya. Semudah itu. Saya terpikir kejadian pagi di mana tak ada satupun dari mereka yang menawari saya, bukan untuk minta gratisan ya tapi saya beli satu saja cukup. Sementara Si Ibu yang belakangan hadir justru memberi saya cuma-cuma.
Apakah karena Si Ibu sudah lebih tua sehingga keegoan sudah menyusut? Atau karena memang sudah watak Si Ibu yang baik? Murah hati?
Yang jelas, saya melihat satu sisi kebaikan dari Si Ibu. Oya, ibu ini yang pergi bersama saya ke dokter gigi tempo lalu. Bahkan mengantar jemput saya. Baca ceritanya di sini.
Ibu, terima kasih. Tak peduli apa kata dunia tentangmu berhembus ke telingaku, aku tetap bisa merasakan sisi baikmu. Semoga Allah yang membalas kebaikanmu. Aamiin.
No comments:
Post a Comment
leave your comment here!