Sobat, kita lanjut ke seri kontemplasi dengan topik kedua Tentang Diri dan Identitas.
Seberapa Baik Kita pada Diri Sendiri?
"Kalau kamu mendengar seseorang bicara kasar seperti itu pada temannya, apa yang akan kamu lakukan? Lalu kenapa kamu mengizinkan dirimu bicara seperti itu pada dirimu sendiri?"
Saya pernah duduk termenung setelah gagal menyelesaikan sesuatu yang sudah saya rencanakan sejak lama. Di kepala saya, muncul suara yang berkata, “Kamu malas.” “Kamu nggak cukup bagus.” “Lihat tuh orang lain bisa, kenapa kamu enggak?” Dan yang menyakitkan, suara itu datang bukan dari orang lain, tapi dari diri saya sendiri.
Kita sering lupa bahwa cara kita berbicara pada diri sendiri mencerminkan hubungan yang paling penting dalam hidup: hubungan kita dengan diri kita sendiri. Jika hubungan itu dipenuhi kritik, ejekan, dan tekanan—maka bagaimana bisa kita berharap hidup terasa ringan?
Ada kalanya saya bertanya, “Kalau saya bisa sabar pada orang lain, kenapa tidak bisa sabar pada diri sendiri?” Kita bisa menenangkan teman yang gagal, menyemangati orang yang jatuh, tapi kepada diri sendiri? Kita malah bilang: “Kamu bodoh. Malu-maluin.”
Terkadang, kita menjadikan standar orang lain sebagai tolak ukur harga diri. Kita merasa baru layak dihargai jika kita produktif, jika kita tampil sempurna, jika kita memenuhi ekspektasi sosial. Dan tanpa sadar, kita menganggap kasih sayang untuk diri sendiri sebagai sesuatu yang egois atau lemah.
Padahal, kebaikan pada diri sendiri bukan kemunduran. Ia adalah kekuatan. Ia adalah bentuk keberanian untuk bilang, “Saya pantas dicintai, bahkan saat saya tidak sempurna.” Dan itu bukan berarti kita berhenti belajar, tapi kita belajar dengan lebih lembut, lebih sadar, lebih manusiawi.
Saya perlahan mulai mengganti kalimat-kalimat kejam itu. Saat saya gagal, saya bilang, “Tidak apa-apa, kita coba lagi besok.” Saat merasa lelah, saya bilang, “Istirahat bukan dosa.” Dan saat saya merasa takut, saya peluk diri saya dalam doa, “Kamu nggak sendiri.”
Butuh waktu. Butuh keberanian. Tapi saya percaya, dengan membangun dialog yang sehat dalam diri, kita bisa menumbuhkan kekuatan dari dalam. Kita tidak lagi mencari validasi semata dari luar, karena kita tahu: diri kita layak diperlakukan dengan hormat—oleh kita sendiri.
Saya juga sadar, menjadi baik pada diri sendiri bukan soal kata-kata manis saja. Ia soal tindakan: tidur cukup, makan dengan sadar, memaafkan diri atas masa lalu, menghindari lingkungan yang merusak, dan mengambil jeda ketika perlu.
Bayangkan jika kamu memperlakukan dirimu seperti sahabat terbaikmu—apa yang akan berubah? Mungkin kamu akan lebih sabar saat gagal, lebih bangga pada kemajuan kecil, dan lebih berani melangkah tanpa ketakutan yang terus membayangi.
Hari ini, saya tidak ingin menjadi sempurna. Saya hanya ingin menjadi teman yang baik untuk diri saya sendiri. Karena saya sadar, hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dengan membenci diri sendiri setiap hari.
Dan untuk kamu yang sedang keras pada dirimu sendiri, saya ingin bertanya:
“Jika kamu benar-benar menyayangi dirimu, bagaimana kamu akan memperlakukan dirimu hari ini?”
Sampai jumpa di posting berikutnya...
Ada rindu yang tak bisa disampaikan, hanya bisa dirasakan dalam hening.

No comments:
Post a Comment
leave your comment here!